PERANAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL DALAM PERTUMBUHAN
EKONOMI
A.Efek Perdagangan Internasional terhadap Pertumbuhan Ekonomi
Dalam konteks perekonomian suatu
negara, salah satu wacana yang menonjol adalah mengenai pertumbuhan ekonomi.
Meskipun ada juga wacana lain mengenai pengangguran, inflasi atau kenaikan
harga barang-barang secara bersamaan, kemiskinan, pemerataan pendapatan dan
lain sebagainya. Pertumbuhan ekonomi menjadi penting dalam konteks perekonomian
suatu negara karena dapat menjadi salah satu ukuran dari pertumbuhan atau
pencapaian perekonomian bangsa tersebut, meskipun tidak bisa dinafikan
ukuran-ukuran yang lain. Wijono (2005) menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi
merupakan salah satu indikator kemajuan pembangunan.
Salah satu hal yang dapat dijadikan motor penggerak bagi pertumbuhan adalah perdagangan internasional. Salvatore menyatakan bahwa perdagangan dapat menjadi mesin bagi pertumbuhan ( trade as engine of growth, Salvatore, 2004). Jika aktifitas perdagangan internasional adalah ekspor dan impor, maka salah satu dari komponen tersebut atau kedua-duanya dapat menjadi motor penggerak bagi pertumbuhan. Tambunan (2005) menyatakan pada awal tahun 1980-an Indonesia menetapkan kebijakan yang berupa export promotion. Dengan demikian, kebijakan tersebut menjadikan ekspor sebagai motor penggerak bagi pertumbuhan.
Ketika perdagangan internasional menjadi pokok bahasan, tentunya perpindahan modal antar negara menjadi bagian yang penting juga untuk dipelajari. Sejalan dengan teori yang dikemukakan oleh Vernon, perpindahan modal khususnya untuk investasi langsung, diawali dengan adanya perdagangan internasional (Appleyard, 2004). Ketika terjadi perdagangan internasional yang berupa ekspor dan impor, akan memunculkan kemungkinan untuk memindahkan tempat produksi.
Peningkatan ukuran pasar yang
semakin besar yang ditandai dengan peningkatan impor suatu jenis barang pada
suatu negara,akan memunculkan kemungkinan untuk memproduksi barang tersebut di
negara importir.Kemungkinan itu didasarkan dengan melihat perbandingan antara
biaya produksi di negara eksportir ditambah dengan biaya transportasi dengan
biaya yang muncul jika barang tersebut diproduksi di negara importir. Jika
biaya produksi di negara eksportir ditambah biaya transportasi lebih besar dari
biaya produksi di negara importir,maka investor akan memindahkan lokasi
produksinya di negara importir(Appleyard,2004).
B. Efek Terhadap Produksi
Pedagangan
luar negeri mempunyai pengaruh yang kompleks terhadap sector produksi di dalam
negeri. Secara umum kita bisa menyebutkan empat macam pengaruh yang bekerja
melalui adanya:
1.Spesialisasi produksi.
2.Kenaikan “investasi surplus”
3.“Vent for Surplus”.
4.Kenaikan produktivitas.
Spesialisasi
Perdagagangan internasional mendorong masing-masing Negara kearah spesialisasi dalam produksi barang di mana Negara tersebut memiliki keunggulan komperatifnya. Dalam kasus constant-cost, akan terjadi spesialisasi produksi yang penuh, sedangkan dalam kasus increasing-cost terjadi spesialisasi yang tidak penuh.
Perdagagangan internasional mendorong masing-masing Negara kearah spesialisasi dalam produksi barang di mana Negara tersebut memiliki keunggulan komperatifnya. Dalam kasus constant-cost, akan terjadi spesialisasi produksi yang penuh, sedangkan dalam kasus increasing-cost terjadi spesialisasi yang tidak penuh.
Yang perlu
diingat disini adalah spesialisasi itu sendiri tidak membawa manfaat kepada
masyarakat kecuali apabila disertai kemungkinan menukarkan hasil produksinya
dengan barang-barang lain yang dibutuhkan. Spesialisasi plus perdagangan bisa
meningkatkan pendapatan riil masyarakat, tetapi spesialisasi tanpa perdagangan
mungkin justru menurunkan kesejahteraan masyarakat.
Tetapi
apakah spesialisasi plus perdagangan selalu menguntungkan suatu negara ?
Dalam uraian diatas dapat menyimpulakan, bahwa CPF sesudah perdagangan selalu
lebih tinggi atau setidak-tidaknya sama dengan CPF sebelum perdangangan. Ini
berarti bahwa perdagangan tidak akan membuat pendapatan riil masyarakat lebih
rendah, dan sangat mungkin membuatnya lebih tinggi.Tetapi perhatikan bahwa
analisa semacam ini bersifat “statik”, yaitu tidak memperhitungkan
pengaruh-pengaruh yang timbul apabila situasi berubah atau berkembang, seperti
yang kita jumpai dalam kenyataan.
Ada tiga
keadaan yang membuat spesialisasi dan perdagangan tidak selalu bermanfaat bagi
suatu negara. Ketiga keaadan ini berkaitan dengan kemungkinan spesialisasi
produksi yang terlalu jauh, artinya adanya sektor produksi yang terlalu
terpusatkan pada satu atau dua barang saja. Keadaan ini adalah:
a. Ketidakstabilan pasar luar negeri
Bayangkan
suatu negara yang karena dorongan spesialisasi dari perdagangan, hanya
memproduksi karet dan kayu. Apabila harga karet dan kayu dunia jatuh, maka
perekonomian dalam negeri otomatis akan jatuh. Lain halnya apabila negara
tersebut tidak hanya berspesialsasi pada kedua barang tesebut, tetapi juga
memproduksi barang-barang lain baik untuk ekspor maupun untuk kebutuhan dalam
negeri sendiri. Turunnya harga dari satu atau dua barang mungkin bisa diimbangi
oleh naiknnya haga barang-barang lain. Inilah pertentangan atau konfik antara
spesialisasi dengan diversifikasi.
Spesialisasi
biasa meningkatkan pendapatan riil masyarakat secara maksimal, tetapi dengan
resiko ketidakstabilan pendapatan tetapi dengan konsekuensi harus mengorbankan
sebagian dari kenaikan pendapatan dari spesialisasi.
Sekarang
hampir semua negara di dunia menyadari bahwa spesialisasi yang terlalu jauh
(meskipun didasarkan atas prinsip keunggulan komperatif,seperti yang ditunjukan
oleh teori ekonomi) bukanlah keadaan yang baik. Manfaat dari diversifikasi
harus pula diperhitungkan.
b.Keamanan nasional
Bayangkan
suatu negara hanya memproduksi satu barang, misalnya karet, dan harus mengimpor
seluruh kebutuhan bahan makanannya. Meskipun karet adalah cabang produksi
dimana negara tersebut memiliki keunggulan komperatif yang paling tinggi,
sehingga bisa meningkatkan CPFnya semakin mungkin, tentunya keadaan seperti ini
tidak sehat.
Seandainya terjadi perang atau
apapun yang menghambat perdagangan luar negeri, dari manakah diperoleh bahan makanan
bagi penduduk negara tersebut? Jelas bahwa pola produksi seperti yang
didiktekan oleh keunggulan komperatif tidak harus selalu diikuti apabila
ternyata kelangsungan hidup negara itu sendiri sama sekali tidak terjamin.
c. Dualisme
Sejarah
perdagangan internasional negara-negara sedang berkembang, terutama semasa
mereka masih menjadi koloni negara-negara Eropa, ditandai oleh timbulnya sektor
ekspor yang berorientasi ke pasar dunia dan yang sedikit sekali berhubungan
dengan sektor tradisional dalam negeri. Sektor ekspor seakan-akan bukan
merupakan bagian dari negeri itu, tetapi bagian dari pasar dunia.
Dalam
keadaan seperti ini spesialisasi dan perdagangan internasional tidak memberi
manfaat kepada perekonomian dalam negeri. Keadaan ini di negara-negara sedang
berkembang setelah mereka merdeka, memang sudah menunjukan perubahan. Tetapi
sering belum merupakan perubahan yang fundamental. Sektor ekspor yang “modern”
masih nampak belum bisa menunjang sektor dalam negeri yang “tradisional”.
Ketiga keadaan tersebut di atas adalah peringatan bagi kita untuk tidak begitu saja dan tanpa reserve menerima dalil perdagangan Neoklasik bahwa spesialisasi dan perdagangan selalu menguntungkan dalam keaadaan apapun.
Ketiga keadaan tersebut di atas adalah peringatan bagi kita untuk tidak begitu saja dan tanpa reserve menerima dalil perdagangan Neoklasik bahwa spesialisasi dan perdagangan selalu menguntungkan dalam keaadaan apapun.
Tetapi di
lain pihak, uraian diatas tidak merupkan bukti bahwa manfaat dari perdagangan
tidaklah bisa dipetik dalam kenyataan. Teori keunggulan komperatif masih
memiliki kebenaran dasarnya, yaitu bahwa suatu negara seyogyanya memanfaatkan
keunggulan komperatifnya dan kesempatan”transformasi lewat perdagangan”. Hanya
saja perlu diperhatikan bahwa dalam hal-hal tertentu pertimbangan-pertimbangan
lain jangan dilupakan.
Investible Surplus Meningkat
Perdagangan
meningkat pendapatan riil masyarakat. Dengan pendapatan riil yang lebih tinggi
berarti negara tersebut mampu untuk menyisihkan dana sumber-sumber ekonomi yang
lebih besar bagi investasi (inilah yang disebut “investible surplus”).
Investasi yang lebih tinggi berarti laju pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi.
Jadi
perdagangan bisa memdorong laju pertumbuhan ekonomi.
Inilah inti dari pengaruh perdagangan internasional terhadap produksi lewat investible surplus.Ada tiga hal mengenai pengaruh ini perlu dicatat:
Inilah inti dari pengaruh perdagangan internasional terhadap produksi lewat investible surplus.Ada tiga hal mengenai pengaruh ini perlu dicatat:
a.Kita harus
menanyakan berapa dari manfaat perdagangan (kenaikan pendapatan riil) yang
diterima oleh warga negara tersebut, dan berapa yang diterima oleh warga negara
asing yang memiliki faktor produksi, misalnya modal, tenaga kerja, yang diperkejakan
di negara tersebut. Dengan lain perkataan, yang lebih penting adalah berapa
kenaikan GNP, bukan kenaikan GDP, yang ditimbulkan oleh adanya perdagangan.
b. Kita harus menanyakan pula berapa dari kenaikan pendapatan riil karena perdagangan tersebut akan diterjemahkan menjadi kenaikan investasi dalam negeri, dan berapa ternyata dibelanjakan untuk konsumsi yang lebih tinggi atau ditransfer ke luar negeri oleh perusahaan-perusahaan asing sebagai imbalan bagi modal yang ditanamkannya?
Dari segi
pertumbuhan ekonomi yang paling penting adalah kenaikan investasi dalam negeri
dan bukan hanya “investible surplus”-nya.
c.Kita harus pula membedakaan antara “ pertumbuhan ekonomi” dan “pertumbuhan ekonomi”. Disebutkan di atas bagaimana dualisme dalam struktur perekonomian bisa timbul dari adanya perdagangan internasional. Di masa lampau, dan gejala-gejalanya masih tersisa sampai sekarang, kenaikan ivestible surplus tersebut cenderung untuk diinvestasikan di sektor “modern” dan hanya sedikit yang mengalir ke sektor “tradisional”. Pertumbuhan semacam ini justru semakin mempertajam dualisme dan perbedaan antara kedua sektor tersebut.Dalam hal ini kita harus berhati-hati untuk tidak mempersamakan pertumbuhan ekonomi dengan pembagunan ekonomi dalam arti sesungguhnya.
Inti dari uraian diatas adalah
bahwa kenaikan investible surplus karena perdagangan adalah sesuatu yang nyata.
Tetapi kita harus mmpertanyakan lebih lanjut siapa yang memperoleh manfaat,
berapa besar manfaat tersebut yang di realisir sebagai investasi dalam negeri,
dan adakah pengaruh dari manfaat tersebut terhadap pembangunan ekonomi dalam
arti yang sesungguhnya.
Vent For Surplus
Konsep ini
aslinya berasal dari Adam Smith. Menurut Adam Smith, perdagangan luar negeri
membuka daerah pasar baru yang lebih luas bagi hasil-hasil didalam negeri.
Produksi dalam negeri yang semula terbatas karena terbatasnya pasar di dalam
negeri, sekarang bisa diperbesar lagi. Sumber-sumber ekonomi yang semula
menggangur (surplus) sekarang memperoleh saluran (vent) untuk bisa
dimanfaatkan, karena adanya daerah pasar yang baru. Inti dari konsep “vent for
surplus” adalah bahwa pertumbuhan ekonomi terangsang oleh terbukanya daerah
pasar baru.
Sebagai
contoh, suatu negara yang kaya akan tanah pertanian tetapi penduduk relatif
sedikit. Sebelum kemungkinan perdagangan dengan luar negeri terbuka, negara
tersebut hanya mnghasilkan bahan makanan yang cukup untuk menghidupi
penduduknya dan tidak lebih dari itu. Banyak tanah yang sebenarnya subur dan
cocok bagi pertanian dibiarkan tak terpakai. Dengan adanya kontak dengan pasar
dunia, negara tersebut mulai menamam barang-barang perdagangan dunia seperti
lada, kopi, teh, karet, gula, dan sebagainya dengan memanfaatkan tanah
pertanian yang menganggur tersebut. Dengan demikian pertumbuhan ekonomi
meningkat.
Yang perlu
dicatat disini adalah bahwa pemanfaatan tanah-tanah pertanian baru tersebut
memerluakan modal dan investasi yang sangat besar, jauh melebihi kemampuan
negara itu sendiri untuk membiayainya. Oleh sebab itu sejarah mencatat bahwa
pembukaan perkebunan-perkebunan hampir selalu berasal dari modal asing. Ini
jelas dari sejarah negara-negara seperti Indonesia, Malaysia, India, Sri
Langka, dan banyak lagi lainnya.
Di masa
sekarang sumber-sumber ekonomi yang belum dimanfaatkan kebanyakan tidak lagi
berupa tanah-tanah pertanian (meskipun kadang-kadang masih demikian), tetapi
berupa sumber-sumber alam (khususnya energi) dan kadang-kadang juga tenaga
kerja yang murah dan berlimpah dan murah. Modal yang besar dan teknologi tinggi
diperlukan bagi pemanfaatan sumber-sumber alam ini, dan semuanya itu seringkali
di luar kemampuan negara pemilik sumber-sumber tersebut untuk membiayai dan
melaksanakannya. Jadi tetap memerlukan modal dan teknologi asing.
Perhatikan
bahwa inti dari proses “vent for surplus” ini tetap sama, baik dulu maupun
sekarang, yaitu: sumber-sumber ekonomi yang tidak bisa dimanfaatkan kecuali
apabila ada saluran ke pasar dunia dan apabila modal asing diperkenankan masuk.
Perbedaan pokoknya adalah bahwa di masa lampau negara-negara pemilik
sumber-sumber alam tersebut adalah negara jajahan, sedangkan sekarang adalah
negara merdeka dengan pemerintah nasionalnya.
Kunci
daripada apakah proses “vent for surplus” ini akan menghasikan pembangunan
ekonomi dalam arti sesungguhnya dalam arti sesungguhnya ataukah hanya
“pertumbuhan ekonomi” seperti yang telah terjadi di zaman lampau, terletak di
tangan pemerintah nasional. Mereka harus bisa meraih sebagian besar dari
“manfaat perdagangan” yang dihasilkan dan menggunakannya bagi kepentingan
pembangunan nasionalnya dalam arti yang sebenarnya.
Produktivitas
memiliki pengaruh yang sangat penting dari perdagangan luar negeri terhadap
sektor produksi berupa peningkatan produktivitas dan efisiensi pada umumnya.
Kita bisa membedakan tiga sumber utama dari peningkatan produktivitas dan
efisiensi yang ditimbulkan oleh adanya perdagangan luar negeri.
a.Economies of scale berarti makin luasnya pemasaran produksi bisa diperbesar dan dilakukan dengan cara yang lebih murah dan efisien (Economies of scale menurunkan Long Run Average Cost dari suatu sector industri).
b.Teknologi baru berarti perdagangan internasional dan hubungan luar negeri pada umumnya dikatakan sebagai media yang penting bagi penyebaran teknologi dari negara – negara maju ke negara yang belum berkembang.Bentuk yang langsung dari penyebaran teknologi ini adalah apabila dengan dibukanya hubungan dengan luar negeri suatu negara bisa mengimpor barang misalnya mesin yang bisa meningkatkan produktivitas didalam negeri.
Sebagai
contoh, suatu negara sedang berkembang mengimpor komputer untuk memperbaiki
produktivitas aparat pemerintannya. Sebetulnya disini yang dimpor adalah “teknologi
baru” yang terkandung dalam computer tersebut. Bentuk penyebaran teknologi yang
bersifat tidak langsung tetapi kadang sangat penting. Apabila para produsen
dalam negeri memperoleh pengetahuan mengenai produk baru.
Cara – cara
yang dilakukan akan lebih efisien dalam produksi, pemasaran dan manajemen
perusahaan pada umumnya, semangat dan motivasi baru untuk melakukan inovasi.
Misalnya dimasa lalu petani Indonesia memperoleh manfaat dari perkebunan
Belanda berupa pengetahuan mengenai produk baru seperti kopi, teh, tembakau,
karet dan gula yang laku dipasaran dunia dan cara penanamannya yang baik.
“belajar” teknologi baru seperti ini lebih memiliki manfaat yang besar dan
berdifat lebih lestari daripada hanya “membeli” teknologi seperti dalam contoh
di atas.
c.Rangsangan persaingan berarti peningkatan efisiensi tidak hanya terjadi lewat teknologi baru melainkan juga “lewat pasar”. Dikatakan bahwa dibukanya perdagangan internasional tidak jarang membuat sektor – sector tertentu didalam perekonomian yang semula “tertidur” dan tidak efisien menjadi sector yang lebih dinamis berkat adanya pengaruh persaingan dari luar.
Sebagai
contoh, jika suatu pasar domestic yang dikuasai oleh sebuah perusahaan monopoli
yang tidak efisien. Kerugian yang ditanggung masyarakat dengan adanya sector
ini akan lebih tinggi. Namun, karena berbagai hal tidak ada perusahaan dalam
negeri yang bisa masuk ksektor ini dan menggeser posisi perusahaan monopoli
tersebut. Apabila kemudian hubungan kluar negeri dibuka, bisa diharapkan bahwa
barang – barang yang sama atau serupa dengan hasil produksi sector tersebut
tetapi dijual dengan harga yang lebih murah dan kualitas yang lebih baik akan
mengalir masuk kedalam negeri.
Dalam hal
ini dibukanya perdagangan mempunyai pengaruh yang serupa dengan masuknya
perusahaan – perusahaan baru yang lebih efisien ke sektor tersebut. Jadi
perdagangan luar negeri bisa meningkatkan efisiensi suatu sektor melalui
peningkatan persaingan. Dalam prakteknya, Apabila keadaan seperti ini terjadi
maka bisa diharapkan bahwa perusahaan monopoli yang merasa kelangsungan
hidupnya dibahayakan akan berusaha untuk menghalang – halangi mengalirnya
barang – barang ke luar negeri.
Misalnya
dengan menuntut pengenaan bea masuk yang tinggi. Dalam hal ini pemerintah harus
mempertimbangkan berbagai kepentingan termasuk kepentingan konsumen, produsen,
buruh dan kepentingan masyarakat pada umumnya. Seringkali masalahnya menjadi
sulit dan rumit karena argumentasi ekonomi sering dikacaukan dengan argumentasi
politis dan kepentingan golongan atau sektoral.
Ada beberapa
hal penting untuk dicatat mengenai kemungkinan peningkatan produktivitas
melalui hubungan internasional ini. Diantara ketiga sumber peningkatan
produktivitas yaitu Economies of scale, teknologi baru dan rangsangan persaingan.
Salah satu mendapatkan penekanan dan perhatian khusus dari Negara sedang
berkembang yaitu teknologi baru.
Masalah
pemindahan teknologi atau transfer of technologi dari Negara maju ke negar
sedang berkembang merupakan topik yang paling banyak diperbincangkan baik
dikalangan keilmuan maupun perundingan internasional antara kelompok Negara
sedang berkembang dengan kelompok Negara maju.
Pemindahan
teknologi dilihat sebagai salah satu kunci dari keberhasilan pembangunan di
negara yang sedang berkembang. Sampai berapa jauhkan Negara sedang berkembang
dapat memperoleh manfaat teknologi baru melalui perdagangan internasional,
modal asing dan bantuan luar negari? Jawaban untuk
a.Seberapa jauhkah produsen dan pelaku – pleku ekonomi di dalam negeri siap untuk menerima teknologi baru tersebut ? Hal ini menyangkut bukan hanya keterampilan dan pengetahuan minimal yang harus lebih dulu dimiliki oleh para produsen, buruh didalm negeri tetapi juga berkaitan dengan kesiapan mereka dan dengan ada – tidaknya lingkungan yang menunjang pengalihan teknologi tersebut. Ketidaksiapan dari pihak penerima merupakan faktor penghambat meskipun negaraterkadang Negara sedang berkembang tidak selalu mau mengakuinya dengan jujur.
b.Sampai berapa jauhkan Negara maju termasuk perusahaan asing yang beroperasi dinegara tersebut bersedia untuk memberikan dan mengajar teknologi mereka kepada Negara sedang berkembang? Kemauan dan kejujuran yang sungguh – sungguh dipihak Negara maju merupakan syarat utama dari berhasilnya program pengalihan teknologi ini. Itikad dari pihak Negara maju dan perusahaan – perusahaannya untuk menyebarkan dan mengajarkan teknologinya juga perlu dipertanyakan, kalau kita lihat betapa lambatnya proses “transfer of technologi ini berjalan dalam prakteknya.
Ada satu
masalah lagi selain proses pengalihan teknologi itu sendiri yang perlu
diperhatikan. Masalai ini adalah mengenai sesuai tidaknya teknologi yang
dialihkan bagi kepentingan pembangunan Negara sedang berkembang. Teknologi yang
dikembangkan dinegara maju bersumber pada desakan dan keadaan dinegara
tersebut.
Sedangkan
kebutuhan dan keadaan dinegara sedang berkembang mungkin menuntut teknologi
yang berbeda. Sekarang orang mulai mempertanyakan apakah computer, traktor –
traktor besar, mesin serba otomatis memang teknologi yang diperlukan oleh
Negara yang sedang berkembang pada saat ini.Apakah tidak lebih efektif apabila
Negara maju membantu
Negara
sedang berkembang dalam pengembangan teknologi terbaru yang langsung merupakan
jawaban bagi kebutuhan Negara sedang berkembang dan tidak hanya memberikan apa
yang telah dikembangkan dinegara maju. Dari sini muncul ide – ide mengenai
pentingnya mengembangkan teknologi madya dan sebagainya. Tetapi sampai saat ini
belum ada jawaban yang tegas bagi pertanyaan seperti ini dan belum ada
kesepakatan diantara para ekonom sendiri.
Bagaimana
dengan sumber peningkatan yang lain? Saying bahwa kedua sumber ini tidak
memperoleh perhatian yang sepadan disbanding dengan sumber teknologi baru
tersebut. Kedua sumber ini pun tidak kalah pentingnya untuk peningkatan
prodiktivitas.
C. Efek Terhadap Neraca Perdagangan
Neraca
Perdagangan (Trade Balance) adalah sebuah ukuran selisih antara nilai impor dan
ekspor atas barang nyata dan jasa. Tingkat neraca perdagangan dan perubahan
ekspor dan impor diikuti secara luas dalam pasar valuta asing. Efek terhadap
neraca perdagangan cenderung menaikkan barang-barang impor.
Sebaliknya,
apabila suatu negara tidak mampu bersaing, maka ekspor tidak berkembang.
Keadaan ini dapat memperburuk kondisi neraca pembayaran. Efek buruk lain dari
globaliassi terhadap neraca pembayaran adalah pembayaran neto pendapatan faktor
produksi dari luar negeri cenderung mengalami defisit. Investasi asing yang
bertambah banyak menyebabkan aliran pembayaran keuntungan (pendapatan)
investasi ke luar negeri semakin meningkat.
Tidak
berkembangnya ekspor dapat berakibat buruk terhadap neraca pembayaran.Tantangan
Terhadap Tata Internasional yang ada khususnya menyakut pengkotan-pengkotan
negara berdasar geoekonomi dan geopolitik masyarakat dunia. Persekutuan
Negara-negara “non blok” yang berharap untuk menantang hubungan neo-kolonialis
sesudah perang secaara berangsur-angsur diperluas dan diperkuat anatara
konprensi Bandung pada tahun 1955 dan konprensi Aljazair pada tahun 1973.
Konperensi-konperensi
dan pertemuan-pertemuan yang banyak diadakan itu hanya memberikan hasil
langsung yang kecil, sedang blok sosialis tak pernah mampu untuk membantu dunia
ketiga dalam memperoleh suatu kekuatan berunding kolektif yang efektif. Namun suatu
forum untuk perundingan diadakan dengan teerciptanya konprensi PBB untuk
perdagangan dan pembangunan (UNCTAD) pada tahun 1964 sebagai suatu “serikat
buruh” untuk Negara-negara dunia ketiga. Hutang resmi pada luar
negeri ditentukan sedemikian rupa sehingga mencakup hutang-hutang yang diadakan
oleh sector pemerintah, maupun hutang-hutang yang diadakan oleh sector swasta,
yang dijamin oleh badan pemerintah.
Daftar Negara/Lembaga
Kreditor Hutang Luar Negeri terbesar Indonesia
•
Jepang
45,5% atau 29.8 miliar USD* atau Rp 358 triliun
•
ADB (Asian Development Bank 16,4% atau
10.8 miliar USD atau Rp 129 triliun)
•
World Bank (Bank Dunia) 13.6% atau 8.9
miliar USD atau Rp 107 triliun
•
Jerman 4.7% atau 3.1 miliar USD atau Rp
37 triliunAmerika Serikat 3.7% atau 2.3 miliar USD atau Rp 28 triliun
•
Inggris 1.7% atau 1.1 miliar USD atau Rp
13 triliun
•
Negara/lembaga lain 14.6% atau 9.6
miliar USD atau Rp 115 triliun
Sumber:World Bank
Data hutang Indonesia
dari tahun 2010 s/d 2013
•
Tahun 2010: Rp 1.676,15 triliun (26%)
•
Tahun 2011: Rp 1.803,49 triliun (25%)
•
Tahun 2012: Rp 1.975,42 triliun (27,3%)
•
September 2013: Rp 2.273,76 triliun
(27,5%)
•
November 2013: Rp. 3.148 triliun
Sumber :World Bank
Pertemuan
UNCTAD yang pertama sudah meliputi sebagian besar dari masalah-masalah yang ingin
dirundingkan dan didasarkan atas asas-asas umum yang termuat dalam piagam
UNCTAD yang mewajibkan setiap Negara untuk memberikan sumbangan-sumbangan
kepada suatu tata ekonomi internasional yang diperbaiki yang mencakup “kemajuan
ekonomi dan sosial di seluruh dunia” dan “perbaikan dalam kesejaahteraan dan
tingkat hidup semua orang.
Tindakan
kelompok organisasi Negara-negara pengekspor minyak bumi (OPEC), yang
meningkatkan harga minyak dunia dengan empat kali lipat, terjadi dengan latar
belakang erosi perlahan-lahan dalam hegemoni politik dan militer Amerika
Serikat di Seluruh dunia. ruh dunia, seperti misalnya kekalahannya yang bergema
di Asia Tenggara.
Tindakan OPEC tersebut
di atas mencapai suatu pergeseran yang nyata dalam perimbangan kekuasaan dengan
tiga konsekuensi penting:
a. Tindakan tersebut
memperlihatkan keuntungan-keuntungan yang potensial bagi ketiga kelompok
negara-negara pengekspor komoditi primer yang dapat menguasai pasaran dunia
untuk suatu komoditi yang penting, di mana negara-negara Barat tidak dapat
memenuhi kebutuhannya sendiri.
b, Tindakan OPEC
memperlemah negara-negara Barat dengan amat mengacaukan neraca pembayaran
mereka serta mematahkan monopoli mereka dalam cadangan internasional.
c. Karena OPEC bersedia
untuk menggunakan kekuatan berundingnya untuk menunjang tuntutan-tuntutan lain
dari dunia ketiga, maka OPEC pun secara substansial memperkuat posisi berunding
dunia ketiga secara keseluruhan.
Tantangan
itu, setidak-tidaknya untuk, waktu ini, adalah suatu tantangan yang nyata, dan
perundingan-perundingan antara negara-negara kaya dan miskin menjadi lebih
terarah. Pada Sidang UNCTAD IV tercapai persetujuan mengenai dua
hal-pembentukan suatu dana stabilisasi multi-komoditi dan suatu kode untuk
pengalihan teknologi. Bidang perundingan lain yang penting ialah Konperensi
PBB untuk Hukum Laut, di mana negara-negara dunia ketiga sedang mendesakkan
pengaturan internasional baru untuk memastikan hak atas sumber daya; sumber
daya laut dan dasar laut.
Tetapi
kekuatan berunding dunia ketiga masih belum kokoh. Masih harus dilihat apakah
produsen-produsen komoditi primer lain, yang diilhami oleh keberhasilan OPEC,
dapat merigorganisir kartel-kartel yang efektif. Juga masih harus dilihat
apakah Negara-negara Barat dapat memperbaiki kerusakan perekonomian mereka
sendiri, dan apakah anggota-anggota OPEC yang lebih kaya akan terus berpihak
pada dunia ketiga atau, sebaliknya, lambat laun akan ditarik ke dalam
"klub orang-orang, kaya" Sistem harga "dua-tingkat" dari
OPEC sudah menunjukkan adanya suatu perpecahan.
Adalah
penting untuk dicatat bahwa sistem sesudah perang, yang mendorong pertumbuhan
yang pesat di Eropa dan Jepang selama lebih dari dua dasawarsa, sudah
memperlihatkan gejala-geja1a ketidak-stabilan yang gawat sebelum terjadinya krisis
minyak. Dalam hal ini perlu disebut tiga kelemahan pokok, yaitu laju inflasi
yang makin pesat; tidak stabilnya kurs mata uang dan lalu lintas mata uang, dan
perkembangan industri yang berbeda-beda dari berbagai negara yang bersaingan
satu sama lain.
Kelemahan-kelemahan
ini pada akhirnya dapat merenggangkan persekutuan negara-negara Barat dan
melemahkan keterikatan dari sedikit-dikitnya beberapa negara terhadap
pengaturan ekonomi dunia yang berlaku.Bidang-bidang Perundingan Utama sangat
ditentukan oleh Topik-topik diskusi yang pada waktu ini dibahas secara aktif
dapat dikelompokkan dalam tiga kategori: komoditi-komoditi primer, perkembangan
industri dan sumber pembiayaan luar negeri.
Hingga
kini yang terutama ditekankan adalah topik pertama yaitu komoditi primer.Usul-usul
khusus yang diajukan mencakup suatu "rencana komoditi terpadu" untuk
komoditi-komoditi yang merupakan 80 persen dari seluruh perdagangan komoditi,2
tidak termasuk minyak bumi, indeksasi harga komoditi2 dan pembentukan
asosiasi-asosiasi produsen.
Rencana
komoditi terpadu mencakup persediaan golongan penyangga internasional yang
dibiayai dengan suatu dana umum yang berjumlah beberapa milyar dollar Amerika
Serikat, tekanan pada kontrak-kontrak persediaan besar yang berjangka panjang,
pembiayaan kompensasi untuk kehilangan penghasilan yang disebabkan oleh
jatuhnya harga, dan peningkatan pengolahan dan distribusi bahan-bahan mentah
oleh negara-negara penghasil komoditi.
Usul-usul
yang lebih kontroversial adalah indeksasi (kaitan) harga-harga komoditi yang
diekspor oleh negara-negara dunia ketiga dengan harga-harga yang mereka bayar
untuk impor dan pembentukan asosiasi-asosiasi produsen. Usul-usul ini dapat
menguntungkan baik produsen maupun konsumen dengan menyediakan pasaran yang
stabil, dan memungkinkan pertumbuhan yang lebih pesat.
Tetapi
mereka menghadapi perlawanan dari banyak negara Barat, yang menganggap usul
terakhir ini sebagai suatu keinginan untuk meniru OPEC dengan menetapkan
harga-harga yang tinggi dan membatasi persediaan. Bahkan usul pertama dianggap
sebagai saran yang lebih buruk bahwa kelebihan persediaan harus disubsidi atas
beban mereka. Usul indeksasi akan meliputi suatu perluasan kebijaksanaan
dukungan harga yang dijalankan di negara-negara Barat.
Usul
balasan, yang terutama diajukan oleh Amerika Serikat, adalah pengembangan
komoditi-komoditi primer melalui penanaman modal swasta dalam produksi
terpadu, pengolahan dan jaringan distribusi. Hal ini tidak dapat diterima oleh
banyak negara dimia ketiga, karena akan berarti perluasan penguasaan atas
sumber daya-sumber daya alam mereka oleh perusahaan-perusahaan multinasional,
yang sudah terjadi dalam bahan-bahan mineral, dan yang mereka sudah sejak lama
menganggap sebagai contoh utama dari eksploitasi neo-kolonialis.
Tujuan-tujuan
dunia yang ketiga dalam hal pembangunan industri adalah persyaratan yang lebih
baik untuk memperoleh teknologi, peluang yang lebih baik untuk menjual
barang-barang jadi di pasaran negara-negara Barat dan pengawasan yang lebih
besar terhadap kegiatan-kegiatan perusahaan-perusahaan multinasional.Meskipun
terdapat kode tentang pengalihan teknologi, namun kemungkinan terjadinya
perubahan yang berarti hanya kecil sekali.
Negara-negara
Barat yang sudah terlibat dalam saling persaingan yang hebat, tidak berhasrat
untuk membantu negara-negara dunia ketiga dalam merebut pasaran dari tangan
mereka. Selama tahun-tahun terakhir ini wahana utama bagi pengembangan ekspor
barang-barang jadi dari dunia ketiga adalah perusahaan-perusahaan
multinasional, yang tertarik oleh tenaga kerja yang murah di negara-negara
dunia ketiga.
Dalam
bidang barang-barang padat karya perusahaan-perusahaan ini mendatangkan
perdagangan ke dunia ketiga yang merugikan para pekerja di industri-industri
yang sama di Barat.Pemerintah-pemerintah Barat tidak menentang proses ini,
meskipun hal ini mempemgaruhi kesempatan kerja di negara-negara mereka sendiri,
dan pemerintah-pemerintah dunia ketiga sering menyambut balk penghasilan devisa
yang diperoleh dari ekspor barang-barang jadi.
Kekuatan
komersial dari perusahaan-perusahaan multi-nasional merupakan sebab mengapa
perundingan-perundingan yang serius mengenai pembangunan industri sangat tidak
mungkin, karena pemerintah di banyak negara kaya dan miskin terlampau
tergantung pada mereka untuk bersedia melakukan banyak campur tangan dalam
kegiatan-kegiatan mereka. Tetapi bahkan jika suatu kelompok negara-negara
dunia ketiga yang lebih besar dapat kesempatan yang lebih baik unluk memasuki
pasaran industri dunia, maka hal ini hanya akan mengakibatkan persaingan yang
lebih hebat antara mereka tanpa membawa pertambahan netto yang berarti negara
Barat berarti bahwa sistem keuangan internasional dalam bentuknya yang sekarang
banyak keku-rangannya menurut pandangan kebanyakan negara yang ikut serta dalam
sistem ini.
Tujuan
dari setiap kelompok terutama tergantung pada hal apakah mereka adalah negara
debitor atau kreditor. Dunia ketiga menghendaki kredit murah tanpa ikatan;
negara-negara dan lembaga-lembaga kreditor OPEC dan Barat menghendaki
keuntungan dan keamanan. Pemerintah kreditor juga menghargai pengaruh politis
yang mereka peroleh, yaitu "ikatan-ikatan" yang ditentang oleh
negara-negara debitor dari dunia ketiga dalam pendapatan bagi dunia ketiga
sebagai keseluruhan.
Keterbatasan
anggaran dalam membangun dan menumbuh kembangakan iklim industrialisasi di
negara dunia ketiga, memancing mereka untuk mendapat pembiayaan dari luar
negeri, khususnya negara maju. Dan, akhirnya banyak menjadi masalah hutang yang
gawat dari banyak negara dunia ketiga itu sendiri, dan itu juga kesulitan bagi
negara-negara OPEC untuk menemukan suatu bentuk investasi yang aman bagi
penghasilan surplus dari penjualan minyak bumi, dan ketidak-stabilan mata-uang
yang diderita banyak.
Tetapi
jika negara-negara Barat dapat menetapkan untuk mereka sendiri
peraturan-peraturan yang dapat dikerjakan dengan baik mengenai penyesuaian
neraca pembayaran, maka mereka akan mampu menyelesaikan masalah-masalah
spekulatif tanpa perlu memberikan konsesi-konsesi besar kepada negara-negara
dunia ketiga.
Pada
waktu ini memang dunia ketiga mempunyai hutang besar, terutama sesudah terjadi
pertumbuhan yang pesat dalam pinjaman dari pasar modal swasta internasional.
Negara-negara kaya akan terpaksa untuk menunda masa pembayaran kembali
hutang-hutang ini untuk menghindari hantu kebangkrutan massal dari dunia
ketiga, tetapi hal ini tidak mungkin akan menghasilkan persyaratan yang
diperlunak. Bahkan harapan bahwa OPEC akan merupakan suatu sumber kredit baru
mungkin akan ternyata suatu ilusi belaka; negara-negara OPEC nampaknya
mempunyai pandangan yang sama seperti negara-negara Barat mengenai keamanan
dan keuntungan dari dana-dana yang mereka tanamkan, dan nampaknya mereka juga
akan berusaha untuk menggunakan setiap kredit yang mereka berikan sebagai suatu
cara untuk memperoleh pengaruh politik.
SUMBER :
Boediono, 2001, Ekonomi
Internasional, Edisi 1. Yogyakarta : BPFE-Yogyakarta
http://www.scribd.com/doc/17351198/Buku-Ekonomi-Internasional-Lengkap-OK
http://id.wikipedia.org/wiki/Globalisasi
http://www.forex.co.id/Kamus/ketajaman-trade-balance.htm