Powered By Blogger

Sabtu, 12 September 2015

PERANAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL DALAM PERTUMBUHAN EKONOMI

PERANAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL DALAM PERTUMBUHAN EKONOMI


A.Efek Perdagangan Internasional terhadap Pertumbuhan Ekonomi
Dalam konteks perekonomian suatu negara, salah satu wacana yang menonjol adalah mengenai pertumbuhan ekonomi. Meskipun ada juga wacana lain mengenai pengangguran, inflasi atau kenaikan harga barang-barang secara bersamaan, kemiskinan, pemerataan pendapatan dan lain sebagainya. Pertumbuhan ekonomi menjadi penting dalam konteks perekonomian suatu negara karena dapat menjadi salah satu ukuran dari pertumbuhan atau pencapaian perekonomian bangsa tersebut, meskipun tidak bisa dinafikan ukuran-ukuran yang lain. Wijono (2005) menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator kemajuan pembangunan.

            Salah satu hal yang dapat dijadikan motor penggerak bagi pertumbuhan adalah perdagangan internasional. Salvatore menyatakan bahwa perdagangan dapat menjadi mesin bagi pertumbuhan ( trade as engine of growth, Salvatore, 2004). Jika aktifitas perdagangan internasional adalah ekspor dan impor, maka salah satu dari komponen tersebut atau kedua-duanya dapat menjadi motor penggerak bagi pertumbuhan. Tambunan (2005) menyatakan pada awal tahun 1980-an Indonesia menetapkan kebijakan yang berupa export promotion. Dengan demikian, kebijakan tersebut menjadikan ekspor sebagai motor penggerak bagi pertumbuhan.

            Ketika perdagangan internasional menjadi pokok bahasan, tentunya perpindahan modal antar negara menjadi bagian yang penting juga untuk dipelajari. Sejalan dengan teori yang dikemukakan oleh Vernon, perpindahan modal khususnya untuk investasi langsung, diawali dengan adanya perdagangan internasional (Appleyard, 2004). Ketika terjadi perdagangan internasional yang berupa ekspor dan impor, akan memunculkan kemungkinan untuk memindahkan tempat produksi.

Peningkatan ukuran pasar yang semakin besar yang ditandai dengan peningkatan impor suatu jenis barang pada suatu negara,akan memunculkan kemungkinan untuk memproduksi barang tersebut di negara importir.Kemungkinan itu didasarkan dengan melihat perbandingan antara biaya produksi di negara eksportir ditambah dengan biaya transportasi dengan biaya yang muncul jika barang tersebut diproduksi di negara importir. Jika biaya produksi di negara eksportir ditambah biaya transportasi lebih besar dari biaya produksi di negara importir,maka investor akan memindahkan lokasi produksinya di negara importir(Appleyard,2004).


B. Efek Terhadap Produksi

Pedagangan luar negeri mempunyai pengaruh yang kompleks terhadap sector produksi di dalam negeri. Secara umum kita bisa menyebutkan empat macam pengaruh yang bekerja melalui adanya:

1.Spesialisasi produksi.

2.Kenaikan “investasi surplus”

3.“Vent for Surplus”.

4.Kenaikan produktivitas.





Spesialisasi
      Perdagagangan internasional mendorong masing-masing Negara kearah spesialisasi dalam produksi barang di mana Negara tersebut memiliki keunggulan komperatifnya. Dalam kasus constant-cost, akan terjadi spesialisasi produksi yang penuh, sedangkan dalam kasus increasing-cost terjadi spesialisasi yang tidak penuh.
Yang perlu diingat disini adalah spesialisasi itu sendiri tidak membawa manfaat kepada masyarakat kecuali apabila disertai kemungkinan menukarkan hasil produksinya dengan barang-barang lain yang dibutuhkan. Spesialisasi plus perdagangan bisa meningkatkan pendapatan riil masyarakat, tetapi spesialisasi tanpa perdagangan mungkin justru menurunkan kesejahteraan masyarakat.
Tetapi apakah spesialisasi plus perdagangan selalu menguntungkan suatu negara ? Dalam uraian diatas dapat menyimpulakan, bahwa CPF sesudah perdagangan selalu lebih tinggi atau setidak-tidaknya sama dengan CPF sebelum perdangangan. Ini berarti bahwa perdagangan tidak akan membuat pendapatan riil masyarakat lebih rendah, dan sangat mungkin membuatnya lebih tinggi.Tetapi perhatikan bahwa analisa semacam ini bersifat “statik”, yaitu tidak memperhitungkan pengaruh-pengaruh yang timbul apabila situasi berubah atau berkembang, seperti yang kita jumpai dalam kenyataan.
Ada tiga keadaan yang membuat spesialisasi dan perdagangan tidak selalu bermanfaat bagi suatu negara. Ketiga keaadan ini berkaitan dengan kemungkinan spesialisasi produksi yang terlalu jauh, artinya adanya sektor produksi yang terlalu terpusatkan pada satu atau dua barang saja. Keadaan ini adalah:


a. Ketidakstabilan pasar luar negeri
Bayangkan suatu negara yang karena dorongan spesialisasi dari perdagangan, hanya memproduksi karet dan kayu. Apabila harga karet dan kayu dunia jatuh, maka perekonomian dalam negeri otomatis akan jatuh. Lain halnya apabila negara tersebut tidak hanya berspesialsasi pada kedua barang tesebut, tetapi juga memproduksi barang-barang lain baik untuk ekspor maupun untuk kebutuhan dalam negeri sendiri. Turunnya harga dari satu atau dua barang mungkin bisa diimbangi oleh naiknnya haga barang-barang lain. Inilah pertentangan atau konfik antara spesialisasi dengan diversifikasi.
Spesialisasi biasa meningkatkan pendapatan riil masyarakat secara maksimal, tetapi dengan resiko ketidakstabilan pendapatan tetapi dengan konsekuensi harus mengorbankan sebagian dari kenaikan pendapatan dari spesialisasi.
Sekarang hampir semua negara di dunia menyadari bahwa spesialisasi yang terlalu jauh (meskipun didasarkan atas prinsip keunggulan komperatif,seperti yang ditunjukan oleh teori ekonomi) bukanlah keadaan yang baik. Manfaat dari diversifikasi harus pula diperhitungkan.


b.Keamanan nasional
Bayangkan suatu negara hanya memproduksi satu barang, misalnya karet, dan harus mengimpor seluruh kebutuhan bahan makanannya. Meskipun karet adalah cabang produksi dimana negara tersebut memiliki keunggulan komperatif yang paling tinggi, sehingga bisa meningkatkan CPFnya semakin mungkin, tentunya keadaan seperti ini tidak sehat.
             Seandainya terjadi perang atau apapun yang menghambat perdagangan luar negeri, dari manakah diperoleh bahan makanan bagi penduduk negara tersebut? Jelas bahwa pola produksi seperti yang didiktekan oleh keunggulan komperatif tidak harus selalu diikuti apabila ternyata kelangsungan hidup negara itu sendiri sama sekali tidak terjamin.


c. Dualisme
Sejarah perdagangan internasional negara-negara sedang berkembang, terutama semasa mereka masih menjadi koloni negara-negara Eropa, ditandai oleh timbulnya sektor ekspor yang berorientasi ke pasar dunia dan yang sedikit sekali berhubungan dengan sektor tradisional dalam negeri. Sektor ekspor seakan-akan bukan merupakan bagian dari negeri itu, tetapi bagian dari pasar dunia.
Dalam keadaan seperti ini spesialisasi dan perdagangan internasional tidak memberi manfaat kepada perekonomian dalam negeri. Keadaan ini di negara-negara sedang berkembang setelah mereka merdeka, memang sudah menunjukan perubahan. Tetapi sering belum merupakan perubahan yang fundamental. Sektor ekspor yang “modern” masih nampak belum bisa menunjang sektor dalam negeri yang “tradisional”.
Ketiga keadaan tersebut di atas adalah peringatan bagi kita untuk tidak begitu saja dan tanpa reserve menerima dalil perdagangan Neoklasik bahwa spesialisasi dan perdagangan selalu menguntungkan dalam keaadaan apapun.
Tetapi di lain pihak, uraian diatas tidak merupkan bukti bahwa manfaat dari perdagangan tidaklah bisa dipetik dalam kenyataan. Teori keunggulan komperatif masih memiliki kebenaran dasarnya, yaitu bahwa suatu negara seyogyanya memanfaatkan keunggulan komperatifnya dan kesempatan”transformasi lewat perdagangan”. Hanya saja perlu diperhatikan bahwa dalam hal-hal tertentu pertimbangan-pertimbangan lain jangan dilupakan.


Investible Surplus Meningkat 
Perdagangan meningkat pendapatan riil masyarakat. Dengan pendapatan riil yang lebih tinggi berarti negara tersebut mampu untuk menyisihkan dana sumber-sumber ekonomi yang lebih besar bagi investasi (inilah yang disebut “investible surplus”). Investasi yang lebih tinggi berarti laju pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi.
Jadi perdagangan bisa memdorong laju pertumbuhan ekonomi.
Inilah inti dari pengaruh perdagangan internasional terhadap produksi lewat investible surplus.Ada tiga hal mengenai pengaruh ini perlu dicatat:
a.Kita harus menanyakan berapa dari manfaat perdagangan (kenaikan pendapatan riil) yang diterima oleh warga negara tersebut, dan berapa yang diterima oleh warga negara asing yang memiliki faktor produksi, misalnya modal, tenaga kerja, yang diperkejakan di negara tersebut. Dengan lain perkataan, yang lebih penting adalah berapa kenaikan GNP, bukan kenaikan GDP, yang ditimbulkan oleh adanya perdagangan.

b. Kita harus menanyakan pula berapa dari kenaikan pendapatan riil karena perdagangan tersebut akan diterjemahkan menjadi kenaikan investasi dalam negeri, dan berapa ternyata dibelanjakan untuk konsumsi yang lebih tinggi atau ditransfer ke luar negeri oleh perusahaan-perusahaan asing sebagai imbalan bagi modal yang ditanamkannya?
Dari segi pertumbuhan ekonomi yang paling penting adalah kenaikan investasi dalam negeri dan bukan hanya “investible surplus”-nya.

c.Kita harus pula membedakaan antara “ pertumbuhan ekonomi” dan “pertumbuhan ekonomi”. Disebutkan di atas bagaimana dualisme dalam struktur perekonomian bisa timbul dari adanya perdagangan internasional. Di masa lampau, dan gejala-gejalanya masih tersisa sampai sekarang, kenaikan ivestible surplus tersebut cenderung untuk diinvestasikan di sektor “modern” dan hanya sedikit yang mengalir ke sektor “tradisional”. Pertumbuhan semacam ini justru semakin mempertajam dualisme dan perbedaan antara kedua sektor tersebut.Dalam hal ini kita harus berhati-hati untuk tidak mempersamakan pertumbuhan ekonomi dengan pembagunan ekonomi dalam arti sesungguhnya.
                Inti dari uraian diatas adalah bahwa kenaikan investible surplus karena perdagangan adalah sesuatu yang nyata. Tetapi kita harus mmpertanyakan lebih lanjut siapa yang memperoleh manfaat, berapa besar manfaat tersebut yang di realisir sebagai investasi dalam negeri, dan adakah pengaruh dari manfaat tersebut terhadap pembangunan ekonomi dalam arti yang sesungguhnya.


Vent For Surplus
Konsep ini aslinya berasal dari Adam Smith. Menurut Adam Smith, perdagangan luar negeri membuka daerah pasar baru yang lebih luas bagi hasil-hasil didalam negeri. Produksi dalam negeri yang semula terbatas karena terbatasnya pasar di dalam negeri, sekarang bisa diperbesar lagi. Sumber-sumber ekonomi yang semula menggangur (surplus) sekarang memperoleh saluran (vent) untuk bisa dimanfaatkan, karena adanya daerah pasar yang baru. Inti dari konsep “vent for surplus” adalah bahwa pertumbuhan ekonomi terangsang oleh terbukanya daerah pasar baru.
Sebagai contoh, suatu negara yang kaya akan tanah pertanian tetapi penduduk relatif sedikit. Sebelum kemungkinan perdagangan dengan luar negeri terbuka, negara tersebut hanya mnghasilkan bahan makanan yang cukup untuk menghidupi penduduknya dan tidak lebih dari itu. Banyak tanah yang sebenarnya subur dan cocok bagi pertanian dibiarkan tak terpakai. Dengan adanya kontak dengan pasar dunia, negara tersebut mulai menamam barang-barang perdagangan dunia seperti lada, kopi, teh, karet, gula, dan sebagainya dengan memanfaatkan tanah pertanian yang menganggur tersebut. Dengan demikian pertumbuhan ekonomi meningkat.
Yang perlu dicatat disini adalah bahwa pemanfaatan tanah-tanah pertanian baru tersebut memerluakan modal dan investasi yang sangat besar, jauh melebihi kemampuan negara itu sendiri untuk membiayainya. Oleh sebab itu sejarah mencatat bahwa pembukaan perkebunan-perkebunan hampir selalu berasal dari modal asing. Ini jelas dari sejarah negara-negara seperti Indonesia, Malaysia, India, Sri Langka, dan banyak lagi lainnya.
Di masa sekarang sumber-sumber ekonomi yang belum dimanfaatkan kebanyakan tidak lagi berupa tanah-tanah pertanian (meskipun kadang-kadang masih demikian), tetapi berupa sumber-sumber alam (khususnya energi) dan kadang-kadang juga tenaga kerja yang murah dan berlimpah dan murah. Modal yang besar dan teknologi tinggi diperlukan bagi pemanfaatan sumber-sumber alam ini, dan semuanya itu seringkali di luar kemampuan negara pemilik sumber-sumber tersebut untuk membiayai dan melaksanakannya. Jadi tetap memerlukan modal dan teknologi asing.
Perhatikan bahwa inti dari proses “vent for surplus” ini tetap sama, baik dulu maupun sekarang, yaitu: sumber-sumber ekonomi yang tidak bisa dimanfaatkan kecuali apabila ada saluran ke pasar dunia dan apabila modal asing diperkenankan masuk. Perbedaan pokoknya adalah bahwa di masa lampau negara-negara pemilik sumber-sumber alam tersebut adalah negara jajahan, sedangkan sekarang adalah negara merdeka dengan pemerintah nasionalnya.
Kunci daripada apakah proses “vent for surplus” ini akan menghasikan pembangunan ekonomi dalam arti sesungguhnya dalam arti sesungguhnya ataukah hanya “pertumbuhan ekonomi” seperti yang telah terjadi di zaman lampau, terletak di tangan pemerintah nasional. Mereka harus bisa meraih sebagian besar dari “manfaat perdagangan” yang dihasilkan dan menggunakannya bagi kepentingan pembangunan nasionalnya dalam arti yang sebenarnya.
Produktivitas memiliki pengaruh yang sangat penting dari perdagangan luar negeri terhadap sektor produksi berupa peningkatan produktivitas dan efisiensi pada umumnya. Kita bisa membedakan tiga sumber utama dari peningkatan produktivitas dan efisiensi yang ditimbulkan oleh adanya perdagangan luar negeri.


a.Economies of scale berarti makin luasnya pemasaran produksi bisa diperbesar dan dilakukan dengan cara yang lebih murah dan efisien (Economies of scale menurunkan Long Run Average Cost dari suatu sector industri).

b.Teknologi baru berarti perdagangan internasional dan hubungan luar negeri pada umumnya dikatakan sebagai media yang penting bagi penyebaran teknologi dari negara – negara maju ke negara yang belum berkembang.Bentuk yang langsung dari penyebaran teknologi ini adalah apabila dengan dibukanya hubungan dengan luar negeri suatu negara bisa mengimpor barang misalnya mesin yang bisa meningkatkan produktivitas didalam negeri.
Sebagai contoh, suatu negara sedang berkembang mengimpor komputer untuk memperbaiki produktivitas aparat pemerintannya. Sebetulnya disini yang dimpor adalah “teknologi baru” yang terkandung dalam computer tersebut. Bentuk penyebaran teknologi yang bersifat tidak langsung tetapi kadang sangat penting. Apabila para produsen dalam negeri memperoleh pengetahuan mengenai produk baru.
Cara – cara yang dilakukan akan lebih efisien dalam produksi, pemasaran dan manajemen perusahaan pada umumnya, semangat dan motivasi baru untuk melakukan inovasi. Misalnya dimasa lalu petani Indonesia memperoleh manfaat dari perkebunan Belanda berupa pengetahuan mengenai produk baru seperti kopi, teh, tembakau, karet dan gula yang laku dipasaran dunia dan cara penanamannya yang baik. “belajar” teknologi baru seperti ini lebih memiliki manfaat yang besar dan berdifat lebih lestari daripada hanya “membeli” teknologi seperti dalam contoh di atas.

c.Rangsangan persaingan berarti peningkatan efisiensi tidak hanya terjadi lewat teknologi baru melainkan juga “lewat pasar”. Dikatakan bahwa dibukanya perdagangan internasional tidak jarang membuat sektor – sector tertentu didalam perekonomian yang semula “tertidur” dan tidak efisien menjadi sector yang lebih dinamis berkat adanya pengaruh persaingan dari luar.
Sebagai contoh, jika suatu pasar domestic yang dikuasai oleh sebuah perusahaan monopoli yang tidak efisien. Kerugian yang ditanggung masyarakat dengan adanya sector ini akan lebih tinggi. Namun, karena berbagai hal tidak ada perusahaan dalam negeri yang bisa masuk ksektor ini dan menggeser posisi perusahaan monopoli tersebut. Apabila kemudian hubungan kluar negeri dibuka, bisa diharapkan bahwa barang – barang yang sama atau serupa dengan hasil produksi sector tersebut tetapi dijual dengan harga yang lebih murah dan kualitas yang lebih baik akan mengalir masuk kedalam negeri.
Dalam hal ini dibukanya perdagangan mempunyai pengaruh yang serupa dengan masuknya perusahaan – perusahaan baru yang lebih efisien ke sektor tersebut. Jadi perdagangan luar negeri bisa meningkatkan efisiensi suatu sektor melalui peningkatan persaingan. Dalam prakteknya, Apabila keadaan seperti ini terjadi maka bisa diharapkan bahwa perusahaan monopoli yang merasa kelangsungan hidupnya dibahayakan akan berusaha untuk menghalang – halangi mengalirnya barang – barang ke luar negeri.
Misalnya dengan menuntut pengenaan bea masuk yang tinggi. Dalam hal ini pemerintah harus mempertimbangkan berbagai kepentingan termasuk kepentingan konsumen, produsen, buruh dan kepentingan masyarakat pada umumnya. Seringkali masalahnya menjadi sulit dan rumit karena argumentasi ekonomi sering dikacaukan dengan argumentasi politis dan kepentingan golongan atau sektoral.
Ada beberapa hal penting untuk dicatat mengenai kemungkinan peningkatan produktivitas melalui hubungan internasional ini. Diantara ketiga sumber peningkatan produktivitas yaitu Economies of scale, teknologi baru dan rangsangan persaingan. Salah satu mendapatkan penekanan dan perhatian khusus dari Negara sedang berkembang yaitu teknologi baru.
Masalah pemindahan teknologi atau transfer of technologi dari Negara maju ke negar sedang berkembang merupakan topik yang paling banyak diperbincangkan baik dikalangan keilmuan maupun perundingan internasional antara kelompok Negara sedang berkembang dengan kelompok Negara maju.
Pemindahan teknologi dilihat sebagai salah satu kunci dari keberhasilan pembangunan di negara yang sedang berkembang. Sampai berapa jauhkan Negara sedang berkembang dapat memperoleh manfaat teknologi baru melalui perdagangan internasional, modal asing dan bantuan luar negari? Jawaban untuk


a.Seberapa jauhkah produsen dan pelaku – pleku ekonomi di dalam negeri siap untuk menerima teknologi baru tersebut ? Hal ini menyangkut bukan hanya keterampilan dan pengetahuan minimal yang harus lebih dulu dimiliki oleh para produsen, buruh didalm negeri tetapi juga berkaitan dengan kesiapan mereka dan dengan ada – tidaknya lingkungan yang menunjang pengalihan teknologi tersebut. Ketidaksiapan dari pihak penerima merupakan faktor penghambat meskipun negaraterkadang Negara sedang berkembang tidak selalu mau mengakuinya dengan jujur. 

b.Sampai berapa jauhkan Negara maju termasuk perusahaan asing yang beroperasi dinegara tersebut bersedia untuk memberikan dan mengajar teknologi mereka kepada Negara sedang berkembang? Kemauan dan kejujuran yang sungguh – sungguh dipihak Negara maju merupakan syarat utama dari berhasilnya program pengalihan teknologi ini. Itikad dari pihak Negara maju dan perusahaan – perusahaannya untuk menyebarkan dan mengajarkan teknologinya juga perlu dipertanyakan, kalau kita lihat betapa lambatnya proses “transfer of technologi ini berjalan dalam prakteknya.
Ada satu masalah lagi selain proses pengalihan teknologi itu sendiri yang perlu diperhatikan. Masalai ini adalah mengenai sesuai tidaknya teknologi yang dialihkan bagi kepentingan pembangunan Negara sedang berkembang. Teknologi yang dikembangkan dinegara maju bersumber pada desakan dan keadaan dinegara tersebut.
Sedangkan kebutuhan dan keadaan dinegara sedang berkembang mungkin menuntut teknologi yang berbeda. Sekarang orang mulai mempertanyakan apakah computer, traktor – traktor besar, mesin serba otomatis memang teknologi yang diperlukan oleh Negara yang sedang berkembang pada saat ini.Apakah tidak lebih efektif apabila Negara maju membantu
Negara sedang berkembang dalam pengembangan teknologi terbaru yang langsung merupakan jawaban bagi kebutuhan Negara sedang berkembang dan tidak hanya memberikan apa yang telah dikembangkan dinegara maju. Dari sini muncul ide – ide mengenai pentingnya mengembangkan teknologi madya dan sebagainya. Tetapi sampai saat ini belum ada jawaban yang tegas bagi pertanyaan seperti ini dan belum ada kesepakatan diantara para ekonom sendiri.

Bagaimana dengan sumber peningkatan yang lain? Saying bahwa kedua sumber ini tidak memperoleh perhatian yang sepadan disbanding dengan sumber teknologi baru tersebut. Kedua sumber ini pun tidak kalah pentingnya untuk peningkatan prodiktivitas.


C. Efek Terhadap Neraca Perdagangan
Neraca Perdagangan (Trade Balance) adalah sebuah ukuran selisih antara nilai impor dan ekspor atas barang nyata dan jasa. Tingkat neraca perdagangan dan perubahan ekspor dan impor diikuti secara luas dalam pasar valuta asing. Efek terhadap neraca perdagangan cenderung menaikkan barang-barang impor.
Sebaliknya, apabila suatu negara tidak mampu bersaing, maka ekspor tidak berkembang. Keadaan ini dapat memperburuk kondisi neraca pembayaran. Efek buruk lain dari globaliassi terhadap neraca pembayaran adalah pembayaran neto pendapatan faktor produksi dari luar negeri cenderung mengalami defisit. Investasi asing yang bertambah banyak menyebabkan aliran pembayaran keuntungan (pendapatan) investasi ke luar negeri semakin meningkat.
Tidak berkembangnya ekspor dapat berakibat buruk terhadap neraca pembayaran.Tantangan Terhadap Tata Internasional yang ada khususnya menyakut pengkotan-pengkotan negara berdasar geoekonomi dan geopolitik masyarakat dunia. Persekutuan Negara-negara “non blok” yang berharap untuk menantang hubungan neo-kolonialis sesudah perang secaara berangsur-angsur diperluas dan diperkuat anatara konprensi Bandung pada tahun 1955 dan konprensi Aljazair pada tahun 1973.
Konperensi-konperensi dan pertemuan-pertemuan yang banyak diadakan itu hanya memberikan hasil langsung yang kecil, sedang blok sosialis tak pernah mampu untuk membantu dunia ketiga dalam memperoleh suatu kekuatan berunding kolektif yang efektif. Namun suatu forum untuk perundingan diadakan dengan teerciptanya konprensi PBB untuk perdagangan dan pembangunan (UNCTAD) pada tahun 1964 sebagai suatu “serikat buruh” untuk Negara-negara dunia ketiga. Hutang resmi pada luar negeri ditentukan sedemikian rupa sehingga mencakup hutang-hutang yang diadakan oleh sector pemerintah, maupun hutang-hutang yang diadakan oleh sector swasta, yang dijamin oleh badan pemerintah.
Daftar Negara/Lembaga Kreditor Hutang Luar Negeri terbesar Indonesia
         Jepang  45,5% atau 29.8 miliar USD* atau Rp 358 triliun
         ADB (Asian Development Bank 16,4% atau 10.8 miliar USD atau Rp 129 triliun)
         World Bank (Bank Dunia) 13.6% atau 8.9 miliar USD atau Rp 107 triliun
         Jerman 4.7% atau 3.1 miliar USD atau Rp 37 triliunAmerika Serikat 3.7% atau 2.3 miliar USD atau Rp 28 triliun
         Inggris 1.7% atau 1.1 miliar USD atau Rp 13 triliun
         Negara/lembaga lain 14.6% atau 9.6 miliar USD atau Rp 115 triliun
Sumber:World Bank
Data hutang Indonesia dari tahun 2010 s/d 2013
         Tahun 2010: Rp 1.676,15 triliun (26%)
         Tahun 2011: Rp 1.803,49 triliun (25%)
         Tahun 2012: Rp 1.975,42 triliun (27,3%)
         September 2013: Rp 2.273,76 triliun (27,5%)
         November 2013: Rp. 3.148 triliun
Sumber :World Bank
Pertemuan UNCTAD yang pertama sudah meliputi sebagian besar dari masalah-masalah yang ingin dirundingkan dan didasarkan atas asas-asas umum yang termuat dalam piagam UNCTAD yang mewajibkan setiap Negara untuk memberikan sumbangan-sumbangan kepada suatu tata ekonomi internasional yang diperbaiki yang mencakup “kemajuan ekonomi dan sosial di seluruh dunia” dan “perbaikan dalam kesejaahteraan dan tingkat hidup semua orang.
Tindakan kelompok organisasi Negara-negara pengekspor minyak bumi (OPEC), yang meningkatkan harga minyak dunia dengan empat kali lipat, terjadi dengan latar belakang erosi perlahan-lahan dalam hegemoni politik dan militer Amerika Serikat di Seluruh dunia. ruh dunia, seperti misalnya kekalahannya yang bergema di Asia Tenggara.
Tindakan OPEC tersebut di atas mencapai suatu perge­seran yang nyata dalam perimbangan kekuasaan dengan tiga konse­kuensi penting:
a. Tindakan tersebut memperlihatkan keuntungan-keuntung­an yang potensial bagi ketiga kelompok negara-negara pengekspor komoditi primer yang dapat menguasai pasaran dunia untuk suatu komoditi yang penting, di mana negara-negara Barat tidak dapat memenuhi kebutuhannya sendiri.
b, Tindakan OPEC memperlemah negara-negara Barat dengan amat mengacaukan neraca pembayaran mereka serta mematahkan monopoli mereka dalam cadangan internasional.
c. Karena OPEC bersedia untuk menggunakan kekuatan be­rundingnya untuk menunjang tuntutan-tuntutan lain dari dunia ketiga, maka OPEC pun secara substansial memperkuat posisi berunding dunia ketiga secara keseluruhan.
Tantangan itu, setidak-tidaknya untuk, waktu ini, adalah suatu tantangan yang nyata, dan perundingan-perundingan antara nega­ra-negara kaya dan miskin menjadi lebih terarah. Pada Sidang UNCTAD IV tercapai persetujuan mengenai dua hal-pembentuk­an suatu dana stabilisasi multi-komoditi dan suatu kode untuk pe­ngalihan teknologi. Bidang perundingan lain yang penting ialah Konperensi PBB untuk Hukum Laut, di mana negara-negara dunia ketiga sedang mendesakkan pengaturan internasional baru untuk memastikan hak atas sumber daya; sumber daya laut dan dasar laut.
Tetapi kekuatan berunding dunia ketiga masih belum kokoh. Masih harus dilihat apakah produsen-produsen komoditi primer lain, yang diilhami oleh keberhasilan OPEC, dapat merigorganisir kartel-kartel yang efektif. Juga masih harus dilihat apakah Negara-­negara Barat dapat memperbaiki kerusakan perekonomian mereka sendiri, dan apakah anggota-anggota OPEC yang lebih kaya akan terus berpihak pada dunia ketiga atau, sebaliknya, lambat laun akan ditarik ke dalam "klub orang-orang, kaya" Sistem harga "dua-tingkat" dari OPEC sudah menunjukkan adanya suatu perpe­cahan.
Adalah penting untuk dicatat bahwa sistem sesudah perang, yang mendorong pertumbuhan yang pesat di Eropa dan Jepang selama lebih dari dua dasawarsa, sudah memperlihatkan gejala-geja1a ketidak-stabilan yang gawat sebelum terjadinya krisis minyak. Dalam hal ini perlu disebut tiga kelemahan pokok, yaitu laju infla­si yang makin pesat; tidak stabilnya kurs mata uang dan lalu lintas mata uang, dan perkembangan industri yang berbeda-beda dari berbagai negara yang bersaingan satu sama lain.
Kelemahan-kele­mahan ini pada akhirnya dapat merenggangkan persekutuan nega­ra-negara Barat dan melemahkan keterikatan dari sedikit-dikitnya beberapa negara terhadap pengaturan ekonomi dunia yang ber­laku.Bidang-bidang Perundingan Utama sangat ditentukan oleh Topik-topik diskusi yang pada waktu ini dibahas secara aktif dapat dikelompokkan dalam tiga kategori: komoditi-komoditi primer, perkembangan industri dan sumber pembiayaan luar nege­ri.
Hingga kini yang terutama ditekankan adalah topik pertama yaitu komoditi primer.Usul-usul khusus yang diajukan mencakup suatu "rencana ko­moditi terpadu" untuk komoditi-komoditi yang merupakan 80 persen dari seluruh perdagangan komoditi,2 tidak termasuk minyak bumi, indeksasi harga komoditi2 dan pembentukan asosiasi-asosia­si produsen.
Rencana komoditi terpadu mencakup persediaan golongan pe­nyangga internasional yang dibiayai dengan suatu dana umum yang berjumlah beberapa milyar dollar Amerika Serikat, tekanan pada kontrak-kontrak persediaan besar yang berjangka panjang, pembiayaan kompensasi untuk kehilangan penghasilan yang dise­babkan oleh jatuhnya harga, dan peningkatan pengolahan dan distribusi bahan-bahan mentah oleh negara-negara penghasil ko­moditi.
Usul-usul yang lebih kontroversial adalah indeksasi (kaitan) harga-harga komoditi yang diekspor oleh negara-negara dunia keti­ga dengan harga-harga yang mereka bayar untuk impor dan pem­bentukan asosiasi-asosiasi produsen. Usul-usul ini dapat mengun­tungkan baik produsen maupun konsumen dengan menyediakan pasaran yang stabil, dan memungkinkan pertumbuhan yang lebih pesat.
Tetapi mereka menghadapi perlawanan dari banyak negara Barat, yang menganggap usul terakhir ini sebagai suatu keinginan untuk meniru OPEC dengan menetapkan harga-harga yang tinggi dan membatasi persediaan. Bahkan usul pertama dianggap sebagai saran yang lebih buruk bahwa kelebihan persediaan harus disubsidi atas beban mereka. Usul indeksasi akan meliputi suatu perluasan kebijaksanaan dukungan harga yang dijalankan di negara-negara Barat.
Usul balasan, yang terutama diajukan oleh Amerika Serikat, adalah pengembangan komoditi-komoditi primer melalui pena­naman modal swasta dalam produksi terpadu, pengolahan dan ja­ringan distribusi. Hal ini tidak dapat diterima oleh banyak negara dimia ketiga, karena akan berarti perluasan penguasaan atas sum­ber daya-sumber daya alam mereka oleh perusahaan-perusahaan multinasional, yang sudah terjadi dalam bahan-bahan mineral, dan yang mereka sudah sejak lama menganggap sebagai contoh utama dari eksploitasi neo-kolonialis.
Tujuan-tujuan dunia yang ketiga dalam hal pembangunan industri adalah persyaratan yang lebih baik untuk memperoleh teknologi, peluang yang lebih baik untuk menjual barang-barang jadi di pa­saran negara-negara Barat dan pengawasan yang lebih besar terha­dap kegiatan-kegiatan perusahaan-perusahaan multinasional.Mes­kipun terdapat kode tentang pengalihan teknologi, namun ke­mungkinan terjadinya perubahan yang berarti hanya kecil sekali.
Negara-negara Barat yang sudah terlibat dalam saling persaingan yang hebat, tidak berhasrat untuk membantu negara-negara dunia ketiga dalam merebut pasaran dari tangan mereka. Selama tahun-­tahun terakhir ini wahana utama bagi pengembangan ekspor ba­rang-barang jadi dari dunia ketiga adalah perusahaan-perusahaan multinasional, yang tertarik oleh tenaga kerja yang murah di negara-negara dunia ketiga.
Dalam bidang barang-barang padat­ karya perusahaan-perusahaan ini mendatangkan perdagangan ke dunia ketiga yang merugikan para pekerja di industri-industri yang sama di Barat.Pemerintah-pemerintah Barat tidak menentang proses ini, meskipun hal ini mempemgaruhi kesempatan kerja di negara-negara mereka sendiri, dan pemerintah-pemerintah dunia ketiga sering menyambut balk penghasilan devisa yang diperoleh dari ekspor barang-barang jadi.
Kekuatan komersial dari perusaha­an-perusahaan multi-nasional merupakan sebab mengapa perun­dingan-perundingan yang serius mengenai pembangunan industri sangat tidak mungkin, karena pemerintah di banyak negara kaya dan miskin terlampau tergantung pada mereka untuk bersedia melakukan banyak campur tangan dalam kegiatan-kegiatan mere­ka. Tetapi bahkan jika suatu kelompok negara-negara dunia ketiga yang lebih besar dapat kesempatan yang lebih baik unluk mema­suki pasaran industri dunia, maka hal ini hanya akan mengakibat­kan persaingan yang lebih hebat antara mereka tanpa membawa pertambahan netto yang berarti negara Barat berarti bahwa sistem keuangan internasional dalam bentuknya yang sekarang banyak keku-rangannya menurut pandangan kebanyakan negara yang ikut serta dalam sistem ini.
Tujuan dari setiap kelompok terutama tergantung pada hal apakah mereka adalah negara debitor atau kreditor. Dunia ketiga menghendaki kredit murah tanpa ikatan; negara-negara dan lem­baga-lembaga kreditor OPEC dan Barat menghendaki keuntungan dan keamanan. Pemerintah kreditor juga menghargai pengaruh politis yang mereka peroleh, yaitu "ikatan-ikatan" yang ditentang oleh negara-negara debitor dari dunia ketiga dalam pendapatan bagi dunia ketiga sebagai keseluruhan.
Keterbatasan anggaran dalam membangun dan menumbuh kembangakan iklim industrialisasi di negara dunia ketiga, memancing mereka untuk mendapat pembiayaan dari luar negeri, khususnya negara maju. Dan, akhirnya banyak menjadi masalah hutang yang gawat dari banyak negara dunia ketiga itu sendiri, dan itu juga kesulitan bagi negara-negara OPEC untuk menemukan suatu ben­tuk investasi yang aman bagi penghasilan surplus dari penjualan minyak bumi, dan ketidak-stabilan mata-uang yang diderita ba­nyak.
Tetapi jika negara-ne­gara Barat dapat menetapkan untuk mereka sendiri peraturan-­peraturan yang dapat dikerjakan dengan baik mengenai penyesuai­an neraca pembayaran, maka mereka akan mampu menyelesaikan masalah-masalah spekulatif tanpa perlu memberikan konsesi-kon­sesi besar kepada negara-negara dunia ketiga.
Pada waktu ini me­mang dunia ketiga mempunyai hutang besar, terutama sesudah terjadi pertumbuhan yang pesat dalam pinjaman dari pasar modal swasta internasional. Negara-negara kaya akan terpaksa untuk menunda masa pembayaran kembali hutang-hutang ini untuk menghindari hantu kebangkrutan massal dari dunia ketiga, tetapi hal ini tidak mungkin akan menghasilkan persyaratan yang diper­lunak. Bahkan harapan bahwa OPEC akan merupakan suatu sum­ber kredit baru mungkin akan ternyata suatu ilusi belaka; negara­-negara OPEC nampaknya mempunyai pandangan yang sama se­perti negara-negara Barat mengenai keamanan dan keuntungan dari dana-dana yang mereka tanamkan, dan nampaknya mereka juga akan berusaha untuk menggunakan setiap kredit yang mereka berikan sebagai suatu cara untuk memperoleh pengaruh politik.

SUMBER :
Boediono, 2001, Ekonomi Internasional, Edisi 1. Yogyakarta : BPFE-Yogyakarta
http://www.scribd.com/doc/17351198/Buku-Ekonomi-Internasional-Lengkap-OK
http://id.wikipedia.org/wiki/Globalisasi

http://www.forex.co.id/Kamus/ketajaman-trade-balance.htm

Ketimpangan Pendapatan dan Tingkat Kemiskinan Petani Kopi Arabika di Desa Tanjung Beringin Kecamatan Sumbul Kabupaten Dairi 2011

EKONOMI PEMBANGUNAN
            Ketimpangan  Pendapatan  dan Tingkat Kemiskinan Petani  Kopi Arabika di Desa Tanjung Beringin Kecamatan  Sumbul Kabupaten Dairi 2011
 


                                                            
                                         




Kelas A Reguler
Cinta R Tarigan
NIM:7131141017
JURUSAN PENDIDIKAN EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS NEGERI MEDAN

2015





KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah Yang Maha Esa Penyusun panjatkan, karena berkat rahmat serta bimbingan-Nya penulis berhasil menyelesaikan Mini Riset yang  berjudul " Ketimpangan  Pendapatan  dan Tingkat Kemiskinan Petani  Kopi Arabika di Desa Tanjung Beringin Kecamatan  Sumbul Kabupaten Dairi ".Adapun Mini Riset  ini diajukan guna memenuhi tugas mata kuliah Ekonomi Pembangunan .

Penulis mengucapkan rasa berterimakasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu penulis sehingga dapat menyelesaikan Mini Riset ini tepat waktu. Penulis yakin Mini Riset  ini masih jauh dari nilai kesempurnaan,oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat diharapkan oleh penulis demi menjadikan Mini Riset ini bisa lebih baik lagi.

Semoga Mini Riset "
Ketimpangan  Pendapatan  dan Tingkat Kemiskinan Petani  Kopi Arabika di Desa Tanjung Beringin Kecamatan  Sumbul Kabupaten Dairi "" memberikan informasi yang berguna bagi masyarakat serta bermanfaat untuk pengembangan wawasan dan peningkatan ilmu pengetahuan bagi kita semua.

                                                                                                                Medan, 25 MEI 2015

                                                                                                                        Penyusun,






DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.......................................................................................................... i
DAFTAR ISI......................................................................................................................... ii
DAFTAR GAMBAR DAN TABEL.................................................................................... iv
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................................... 1
1.1.Latar Belakang................................................................................................................. 1
1.2.Perumusan Masalah......................................................................................................... 4
1.3.Tujuan Penelitian............................................................................................................. 4
1.4.Maksud Penelitian........................................................................................................... 4
BAB II LANDASAN TEORITIS........................................................................................ 5
2.1.Pengertian Distribusi Pendapatan.................................................................................... 5
2.2.Pengukuran Distribusi Pendapatan.................................................................................. 7
2.3.Pengertian Kemiskinan.................................................................................................... 13
2.4.Mengukur Kemiskinan..................................................................................................... 15
2.5.Penyebab Kemiskinan...................................................................................................... 18
BAB III METODE PENELITIAN...................................................................................... 19
3.1.Metode Penentuan Daerah Penelitian.............................................................................. 19
3.2.Metode Penentuan Sampel.............................................................................................. 20
3.3.Metode Analisis Data...................................................................................................... 21
BAB IV PEMBAHASAN.................................................................................................... 24
4.1.Distribusi Sumber Pendapatan Petani Kopi Arabika....................................................... 24
4.2.Analisis Pendapatan dari Usaha Tani Kopi Arabika........................................................ 25
4.3..Kontribusi Pendapatan dari Usaha Tani Kopi Arabika.................................................. 27
Terhadap Total Pendapatan Kopi Arabika
4.4.Tingkat Ketimpangan Pendapatan Petani Kopi............................................................... 29
4.5.Tingkat Kemiskinan dan Jumlah Petani Kopi Arabika Miskin........................................ 33
BAB V PENUTUP............................................................................................................... 36
A.KESIMPULAN................................................................................................................. 36
B.SARAN............................................................................................................................. 37
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................... 38







DAFTAR GAMBAR DAN TABEL
1.Gambar 2.1 Kurva Lorenz.................................................................................................. 7
2.Tabel 2.1 Koefisien Gini..................................................................................................... 10
3.Tabel 2.2 Ketimpanbgan Distribusi Menurut Bank Dunia................................................. 11
4.Tabel 3.1 Garis Kemiskinan Menurut................................................................................. 23
BPS untuk Daerah Kota dan Desa
5.Tabel 4.1 Distribusi Pendapatan Petani Sampel Desa Tanjung Beringin 2011................... 24
6.Tabel 4.2 Rata-rata Pendapatan Petani Sampel dari Usahatani Kopi Arabika................... 26
   Tahun 2011 di Desa Tanjung Beringin.
7.Tabel 4.3 Rata-Rata Keseluruhan Pendapatan Petani Sampel dari.................................... 27
   Usahatani Kopi Arabika Selama Tahun 2011 di Desa Tanjung Beringin
8.Tabel 4.4 Kontribusi Masing-Masing Sumber Pendapatan Petani Sampel......................... 28
    Terhadap Total Pendapatan Petani Sampel Selama Tahun 2011
    di Desa Tanjung Beringin
9.Tabel 4.5 Nilai Koefisien Gini (Gini Ratio) Petani Sampel di Desa................................... 29
    Tanjung Beringin, Tahun 2011.
10. Gambar 4.6.Grafik Kurva Lorenz di Desa Tanjung Beringin, Tahun 2011..................... 30
11. Tabel 4.7 Tingkat Ketimpangan Pendapatan Petani Sampel Berdasarkan...................... 32
      Kriteria Bank Dunia di Desa Tanjung Beringin, Tahun 2011
12. Tabel 4.8 Penggolongan Tingkat Kemiskinan Petani Sampel Menurut........................... 33
      Garis Kemiskinan Sajogyo (1988) di Desa Tanjung Beringin, Tahun 2011
13. Tabel 4.9. Penggolongan Tingkat Kemiskinan Petani Sampel......................................... 35
      Menurut Garis Kemiskinan BPS (2010) di Desa Tanjung Beringin, Tahun 2011

BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Masalah besar yang dihadapi negara sedang berkembang adalah disparitas  (ketimpangan)  distribusi pendapatan  dan  tingkat  kemiskinan.Tidak meratanya distribusi pendapatan memicu terjadinya ketimpanganpendapatan yang merupakan awal dari munculnya masalah kemiskinan.Membiarkan kedua masalah tersebut  berlarut-larut akan semakin memperparah keadaan,dan tidak jarang dapat menimbulkan konsekuensi negatif terhadap kondisi sosial dan politik.Masalah kesenjangan pendapatan dan kemiskinan  tidak  hanyadihadapi oleh negara sedang berkembang, namun negara maju sekalipun tidak terlepas dari permasalahan  ini.Perbedaannya terletak padaproporsi atau besar kecilnya tingkat kesenjangan dan angka kemiskinanyang terjadi, serta tingkat kesulitan mengatasinya yang dipengaruhi olehluas wilayah dan jumlah penduduk suatu negara.Semakin besar angka kemiskinan, semakin tinggi pula tingkat kesulitan mengatasinya.
Para ekonom pada umumnya membedakan dua ukuran pokok distribusi pendapatan, yang keduanya digunakan untuk tujuan analisis dan kuantitatif tentang ketimpangan distribusi pendapatan. Kedua ukuran tersebut adalah distribusi ukuran,yakni, besar atau kecilnya bagian pendapatan yang diterima masing-masing orang dan distribusi fungsional atau distribusi kepemilikan faktor-faktor produksi.

Distribusi ukuran pendapatan merupakan ukuran yang paling sering digunakan oleh para ekonom.Ukuran ini secara langsung menghitung jumlah pendapatan yang diterima oleh setiap individu atau rumah tangga tanpa memperdulikan sumbernya. Ada tiga alat ukur tingkat ketimpangan pendapatan dengan bantuan distribusi ukuran, yakni, Rasio
Kuznets,Kurva Lorenz, dan Koefisien Gini (Sulastri, 2011).Kemiskinan berbeda dengan ketimpangan distribusi pendapatan.Perbedaan ini sangat ditekankan karena kemiskinan berkaitan erat dengan standar hidup yang absolut dari bagian masyarakat tertentu, sedangkan ketimpanan pendapatan mengacu pada standar hidup relatif dari seluruh masyarakat. Pada tingkat ketimpangan yang maksimum, seluruh kekayaan hanya dimiliki oleh satu orang saja dan tingkat kemiskinan sangat tinggi (Setiadi dan Kolip, 2011).
Kemiskinan lazimnya digambarkan sebagai gejala kekurangan pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidup yang pokok. Sekelompok anggota masyarakat dikatakan berada dibawah garis kemiskinan jika pendapatan kelompok anggota masyarakat ini tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup yang paling pokok, seperti, pangan, pakaian, dan tempat tinggal.
Kemiskinan merupakan tema sentral dari perjuangan bangsa,sebagai inspirasi dasar dan perjuangan akan kemerdekaan bangsa dan motivasi fundamental dari cita-cita menciptakan masyarakat adil dan makmur (Adiputra, 2011).Dari hasil penelitian Simanjuntak (2005) di Desa Tanjung Beringin,diketahui bahwa ada sekitar 83% petani kopi yang memiliki pekerjaan sampingan diluar usahatani kopi.
Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor,antara lain,luas lahan yang dimiliki,kurangnya modal,penguasaan terhadap bidang pekerjaan lain, hama penyakit yang sedang menjangkit, kesempatan yang ada, dan semakin tinggi kebutuhan rumah tangga. Pekerjaan sampingan ini memberikan pendapatan tambahan yang signifikan terhadap total pendapatan petani, namun pendapatan dari usahatani kopi tetap menjadi sumber pendapatan utama.
Usahatani kopi memberikan kontribusi terbesar terhadap total pendapatan petani, yakni, sebesar 77,28%. Sedangkan usahatani diluar usahatani kopi dan kegiatan produktif lain diluar kegiatan usahatani masing-masing memberikan kontribusi sebesar 6,08% dan 16,64% terhadap total pendapatan petani kopi.Desa Tanjung Beringin adalah salah satu desa memiliki lahan perkebunan kopi Arabika yang cukup luas di Kecamatan Sumbul. Sebagian besar penduduk di Desa Tanjung Beringin ini bekerja sebagai petani kopi Arabika,baik petani buruh maupun petani tauke (petani yang memiliki banyak lahan kopi Arabika dan menyuruh petani buruh untuk mengelola lahannya).
Hal ini diketahui berdasarkan data yang diperoleh dari kantor kepala Desa Tanjung Beringin dimana dari total keluarga yang berjumlah 651 KK, ternyata terdapat 568 KK atau sekitar 87,25% yang bekerja sebagai petani kopi Arabika. Namun bagaimana tingkat ketimpangan pendapatan dan tingkat kemiskinan petani kopi Arabika di Desa Tanjung Beringin belum diketahui sehingga inilah yang menjadi alasan penulis untuk melakukan penelitian di Desa Tanjung Beringin.






1.2.Perumusan Masalah
a. Bagaimana keberagaman sumber pendapatan petani kopi Arabika serta bagaimana  kontribusi pendapatan dari usaha tani kopi Arabika terhadap total pendapatan petani kopi Arabika didaerah penelitian?
b. Bagaimana tingkat ketimpangan distribusi pendapatan petani kopi Arabika didaerah penelitian?
c. Bagaimana tingkat kemiskinan dan jumlah petani kopi Arabika miskin di Desa Tanjung Beringin?
1.3.Tujuan Penelitian
a. Untuk mengetahui keragaman sumber pendapatan petani kopi Arabika dan tingkat pendapatan petani dari usahatani kopi Arabika serta kontribusinya terhadap total  pendapatan petani kopi Arabika didaerah penelitian?
b. Untuk menganalisis tingkat ketimpangan distribusi pendapatan petani kopi Arabika didaerah penelitian.
c. Untuk menganalisis tingkat kemiskinan dan proporsi petani kopi Arabika miskin  didaerah penelitian.
1.4.Maksud Penelitian
Penelitian ini dilakukan dalam rangka memenuhi tugas akhir Mata Kuliah Ekonomi Pembangunan serta melatih penulis untuk mengadakan riset mini. Riset mini diharapkan dapat memberi gambaran mengenai penelitian kualitatif.

BAB II
LANDASAN TEORITIS
2.1. Pengertian Distribusi Pendapatan
Distribusi pendapatan nasional adalah mencerminkan merata atau timpangnya pembagian hasil suatu negara di kalangan penduduknya (Dumairy, 1999). Menurut Irma Adelma dan Cynthia Taft Morris (dalam Lincolin Arsyad, 1997) ada 8 hal yang menyebabkan ketimpangan distribusi di Negara Sedang Berkembang:
1.Pertumbuhan penduuduk yang tinggi yang mengakibatkan menurunnya pendapatan perkapita
2.Inflasi dimana pendapatan uang bertambah tetapi tidak diikuti secara proporsional dengan pertambahan produksi barang-barang
3.Ketidakmerataan pembangunan antar daerah
4.Investasi yang sangat banyak dalam proyek-proyek yang padat modal, sehingga persentase pendapatan modal kerja tambahan besar dibandingkan persentase pendapatan yang berasal dari kerja, sehingga pengangguran bertambah
5.Rendahnya mobilitas social
6.Pelaksanaan kebijakan industry substitusi impor yang mengakibatkan kenaikan harga-harga barang hasil industry untuk melindungi usaha-usaha golongan kapitalis
7.Memburuknya nilai tukar bagi NSB dalam perdagangan dengan Negara- Negara maju, sebagi akibat ketidak elastisan permintaan Negara-negara maju terhadap barang-barang ekspor NSB
8.Hancurnya industry kerajinan rakyat seperti pertukangan, industry rumah tangga, dan lain-lain
Michael P. Todaro dalam bukunya Pembangunan Ekonomi menjelaskan bahwa pembangunan dalam perspektif luas dapat dipandang sebagai suatu proses multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap masyarakat dan institusi nasional, disamping tetap mengejar akselerasi pertumbuhan ekonomi, penanganan ketimpangan pendapatan serta pengentasan kemiskinan.









2.2. Pengukuran Distribusi Pendapatan
Ada beberapa indikator untuk mengukur tingkat ketimpangan distribusi pendapatan. Berikut beberapa contohnya.1.        Koefisien Gini (Gini Ratio)
Gambar 2.1  Kurva Lorenz   

Koefisien Gini biasanya diperlihatkan oleh kurva yang disebut Kurva Lorenz, seperti yang diperlihatkan kurva di atas ini.Dalam Kurva Lorenz, Garis Diagonal OE merupakan garis kemerataan sempurna karena setiap titik pada garis tersebut menunjukkan persentase penduduk yang sama dengan persentase penerimaan pendapatan. Koefisien Gini adalah perbandingan antara luas bidang A dan ruas segitiga OPE.


Semakin jauh jarak garis Kurva Lorenz dari garis kemerataan sempurna, semakin tinggi tingkat ketidakmerataannya dan sebaliknya.Pada kasus ekstrim, jika pendapatan didistribusikan secara merata,semua titik akan terletak pada garis diagonal dan daerah A akan bernilai nol.
Sebaliknya pada ekstrem lain, bila hanya satu pihak saja yang menerima seluruh pendapatan, luas A akan sama dengan luas segitiga sehingga angka koefisien Gininya adalah satu (1).Jadi suatu distribusi pendapatan makin merata jika nilai koefisien Gini mendekati nol (0). Sebaliknya, suatu distribusi pendapatan dikatakan makin tidak merata jika nilai koefisien Gininya mendekati satu.
Koefisien Gini (Gini Ratio) adalah salah satu ukuran yang paling sering digunakan untuk mengukur tingkat ketimpangan pendapatan secara menyeluruh. Rumus Koefisien Gini adalah sebagai berikut:
dimana:
GR       =    Koefisien Gini (Gini Ratio)
Pi        =    frekuensi penduduk dalam kelas pengeluaran ke-i
Fi       =    frekuensi kumulatif dari total pengeluaran dalam kelaspengeluaran ke-i
Fi-1     =    frekuensi kumulatif dari total pengeluaran dalam kelaspengeluaran ke-(i-1)
            Koefisien Gini didasarkan pada kurva Lorenz, yaitu sebuah kurva pengeluaran kumulatif yang membandingkan distribusi dari suatu variabel tertentu (misalnya pendapatan) dengan distribusi uniform (seragam) yang mewakili persentase kumulatif penduduk. Untuk membentuk koefisien Gini, grafik persentase kumulatif penduduk (dari termiskin hingga terkaya) digambar pada sumbu horizontal dan persentase kumulatif pengeluaran (pendapatan) digambar pada sumbu vertikal.
      Ini menghasilkan kurva Lorenz seperti yang ditunjukkan pada gambar. Garis diagonal mewakili pemerataan sempurna. Koefisien Gini didefinisikan sebagai A/(A+B), dimana A dan B seperti yang ditunjukkan pada grafik. Jika A=0 koefisien Gini bernilai 0 yang berarti pemerataan sempurna, sedangkan jika B=0 koefisien Gini akan bernilai 1 yang berarti ketimpangan sempurna.Namun, pengukuran dengan menggunakan Koefisien Gini tidak sepenuhnya memuaskan.
      Daimon dan Thorbecke (1999) berpendapat bahwa penurunan ketimpangan (perbaikan distribusi pendapatan) selalu tidak konsisten dengan bertambahnya insiden kemiskinan, kecuali jika terdapat dua aspek yang mendasari inkonsistensi tersebut.Pertama, variasi distribusi pendapatan dari kelas terendah meningkat secara drastis sebagai akibat krisis. Kedua, merupakan persoalan metodologi berkaitan dengan keraguan dalam pengukuran kemiskinan dan indikator ketimpangan.Beberapa kriteria bagi sebuah ukuran ketimpangan yang baikmisalnya sebagai berikut.
Ø  Tidak tergantung pada nilai rata-rata (mean independence). Ini berarti bahwa jika semua pendapatan bertambah dua kali lipat,ukuran ketimpangan tidak akan berubah. Koefisien Gini memenuhi syarat ini.
Ø  Tidak tergantung pada jumlah penduduk (population size independence). Jika penduduk berubah, ukuran ketimpangan seharusnya tidak berubah, kondisi lain tetap (ceteris paribus). Koefisien Gini juga memenuhi syarat ini.
Ø  Simetris. Jika antar penduduk bertukar tempat tingkat pendapatannya, seharusnya tidak akan ada perubahan dalam ukuran ketimpangan. Koefisien Gini juga memenuhi hal ini.
Ø  Sensitivitas Transfer Pigou-Dalton. Dalam kriteria ini, transfer pandapatan dari si kaya ke si miskin akan menurunkan ketimpangan. Gini juga memenuhi kriteria ini.

Ukuran ketimpangan yang baik juga diharapkan mempunyai sifat sebagai berikut.
Ø  Dapat didekomposisi
Hal ini berarti bahwa ketimpangan mungkin dapat didekomposisi (dipecah) menurut kelompok penduduk atau sumber pendapatan atau dalam dimensi lain. Indeks Gini tidak dapat didekomposisi atau tidak bersifat aditif antar kelompok, yakni nilai total koefisien Gini dari suatu masyarakat tidak sama dengan jumlah nilai indeks Gini dari sub-kelompok masyarakat (sub-group).
Ø  Dapat diuji secara statistic
Seseorang harus dapat menguji signifikansi perubahan indeks antar waktu. Hal ini sebelumnya menjadi masalah, tetapi dengan teknik bootstrap interval (selang) kepercayaan umumnya dapat dibentuk.
Tabel berikut ini memperlihatkan patokan yang mengatagorikan ketimpangan distribusi berdasarkan nilai koefisien Gini.
Tabel 2.1. Koefisien Gini
Nilai Gini Ratio
Tingkat Ketimpangan
< 0,35
Rendah
0,35 – 0,5
Sedang
> 0,5
Tinggi




2. Ukuran Bank Dunia
        Bank Dunia mengukur ketimpangan distribusi pendapatan suatu negara dengan melihat besarnya kontribusi 40% penduduk termiskin. Kriterianya dapat dilihat pada tabel berikut.
Distribusi Pendapatan
Tingkat Ketimpangan
Kelompok 40% termiskin pengeluarannya
< 12% dari keseluruhan pengeluaran
Tinggi
Kelompok 40% termiskin pengeluarannya
12%–17% dari keseluruhan pengeluaran
Sedang
Kelompok 40% termiskin pengeluarannya
> 17%  dari keseluruhan pengeluaran
Rendah
 
       Tabel 2.2.Ketimpangan Distribusi menurut Bank Dunia

       Distribusi pendapatan merupakan salah satu aspek kemiskinan yang perlu dilihat karena pada dasarnya merupakan ukuran kemiskinan relatif.Oleh karena data pendapatan sulit diperoleh, pengukuran distribusi pendapatan selama ini didekati dengan menggunakan data pengeluaran.
        Dalam hal ini, analisis distribusi pendapatan dilakukan dengan menggunakan data total pengeluaran rumah tangga sebagai proksi pendapatan yang bersumber dari Susenas. Dalam analisis, dapat menggunakan dua ukuran untuk merefleksikan ketimpangan pendapatan yaitu Koefisien Gini (Gini Ratio) dan Ukuran Bank Dunia.
      
         Bank Dunia mengelompokkan penduduk ke dalam tiga kelompok sesuai dengan besarnya pendapatan: 40 persen penduduk dengan pendapatan rendah, 40 persen penduduk dengan pendapatan menengah, dan 20 persen penduduk dengan pendapatan tinggi. Ketimpangan pendapatan diukur dengan menghitung persentase jumlah pendapatan penduduk dari kelompok yang berpendapatan 40 persen terendah dibandingkan total pendapatan seluruh penduduk.
Kategori ketimpangan ditentukan dengan menggunakan kriteria seperti berikut.
·       Jika proporsi jumlah pendapatan dari penduduk yang masuk kategori 40 persen terendah terhadap total pendapatan seluruh penduduk kurang dari 12 persen dikategorikan ketimpangan pendapatan tinggi.
·       Jika proporsi jumlah pendapatan penduduk yang masuk kategori 40 persen terendah terhadap total pendapatan seluruh penduduk antara 12-17 persen dikategorikan ketimpangan pendapatan sedang/menengah;
·       Jika proporsi jumlah pendapatan penduduk yang masuk kategori 40 persen terendah terhadap total pendapatan seluruh penduduk lebih dari 17 persen dikategorikan ketimpangan pendapatan rendah.







2.3.Pengertian Kemiskinan
       Kemiskinan adalah keadaan dimana terjadi ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan, pakaian, tempat berlindung, pendidikan, dan kesehatan. Banyak juga pengertian kemiskinan menurut para ahli seperti:
1.      BAPPENAS (1993)
Kemiskinan adalah situasi serba kekurangan yang terjadi bukan karena kehendak oleh si miskin, melainkan karena keadaan yang tidak dapat dihindari dengan kekuatan yang ada padanya.
2.      Levitan (1980)
Kemiskinan adalah kekurangan barang-barang dan pelayanan-pelayanan yang dibutuhkan untuk mencapai suatu standar hidup yang layak.
3.      Faturchman dan Marcelinus Molo (1994)
Kemiskinan adalah ketidakmampuan individu dan atau rumah tangga untuk memenuhi kebutuhan dasarnya.
4.      Ellis (1994)
Kemiskinan merupakan gejala multidimensional yang dapat ditelaah dari dimensi ekonomi, sosial politik.
5.      Suparlan (1993)
Kemiskinan adalah suatu standar tingkat hidup yang rendah, yaitu adanya suatu tingkat kekurangan materi pada sejumlah atau segolongan orang dibandingkan dengan standar kehidupan yang umum berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.
6.      Reitsma dan Kleinpenning (1994)
Kemiskinan adalah ketidakmampuan seseorang untuk memenuhi kebutuhannya, baik yang bersifat material maupun non material.

7.      Friedman (1979)
Kemiskinan adalah ketidaksamaan kesempatan untuk memformulasikan basis kekuasaan sosial, yang meliptui : asset (tanah, perumahan, peralatan, kesehatan), sumber keuangan (pendapatan dan kredit yang memadai), organisiasi sosial politik yang dapat dimanfaatkan untuk mencapai kepentingan bersama, jaringan sosial untuk memperoleh pekerjaan, barang atau jasa, pengetahuan dan keterampilan yang memadai, dan informasi yang berguna.
         Masalah kemiskinan adalah masalah yang kompleks dan global. Di indonesia masalah kemiskinan seperti tak kunjung usai. Masih banyak kita dapati para pengemis dan gelandangan berkeliaran tidak hanya di pedesaan bahkan di kota-kota besar seperti jakarta pun pemandangan seperti ini menjadi tontonan setiap hari.
         Kemiskinan bisa dikelompokan dalam tiga kategori,yaitu kemiskinan absolut,kemiskinan relatif dan kemiskinan cultural. Kemiskinan absolut mengacu pada satu set standar yang konsisten, tidak terpengaruh oleh waktu dan tempat (negara). Sebuah contoh dari pengukuran absolut adalah persentase dari populasi yang makan dibawah jumlah yang cukup menopang kebutuhan tubuh manusia (kira kira 2000-2500 kalori per hari untuk laki laki dewasa). 
         Bank Dunia  mendefinisikan kemiskinan absolut sebagai hidup dengan pendapatan dibawah US$1 per hari.Deklarasi Copenhagen menjelaskan kemiskinan absolut sebagai sebuah kondisi yang dicirikan dengan kekurangan parah kebutuhan dasar manusia, termasuk makanan, air minum yang aman, fasilitas sanitasi, kesehatan, rumah, pendidikan, dan informasi.
         Seseorang yang tergolong miskin relatif sebenarnya telah hidup di atas garis kemiskinan, namun masih berada di bawah kemampuan masyarakat sekitarnya.Menurut Bank Dunia, kemiskinan relative adalah hidup dengan pendapatan dibawah US$2 per hari. Kemiskinan kultural berkaitan erat dengan sikap seseorang atau sekelompok masyarakat yang tidak mau berusaha memperbaiki tingkat kehidupannya sekalipun ada usaha dari pihak lain yang membantunya.
        Meskipun kemiskinan yang paling parah terdapat di dunia bekembang, ada bukti tentang kehadiran kemiskinan di setiap region. Di negara-negara maju, kondisi ini menghadirkan kaum tunawisma yang berkelana ke sana kemari dan daerah pinggiran kota dan ghetto yang miskin.


2.4. Mengukur Kemiskinan
1.        Garis Kemiskinan (GK), sumber data utama yang dipakai adalah data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Panel Modul Konsumsi dan Kor.
Rumus Penghitungan:
GK = GKM + GKNM
è GK= Garis Kemiskinan
GKM= Garis Kemiskinan Makanan
GKNM= Garis Kemiskinan Non Makan
Teknik penghitungan GKM:
Dimana:
GKMj = Garis Kemiskinan Makanan daerah  j.
Pjk = Harga komoditi k di daerah j.
Qjk = Rata-rata kuantitas komoditi k yang dikonsumsi di daerah j.
Vjk = Nilai pengeluaran untuk konsumsi komoditi k di daerah j.
j = Daerah (perkotaan atau pedesaan)
2.    Persentase Penduduk Miskin, sumber data utama yang dipakai adalah data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Panel Modul Konsumsi dan Kor.
Rumus Penghitungan               

Dimana:
α = 0
z = garis kemiskinan
yi = Rata-rata pengeluaran per kapita sebulan penduduk yang berada dibawah garis kemiskinan (i=1, 2, 3, ...., q), yi < z
q = Banyaknya penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan
n = jumlah penduduk
3.Indeks Kedalaman Kemiskinan, sumber data utama yang dipakai adalah data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Panel Modul Konsumsi dan Kor.
Rumus Penghitungan:
Dimana:
α = 1
4.Indeks Keparahan Kemiskinan, sumber data utama yang dipakai adalah data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Panel Modul Konsumsi dan Kor. Rumus Penghitungan: 
Dimana: α = 2
2.5.Penyebab Kemiskinan
      Kemiskinan banyak dihubungkan dengan:
Ø  penyebab individual, atau patologis, yang melihat kemiskinan sebagai akibat dari perilaku, pilihan, atau kemampuan dari si miskin. Contoh dari perilaku dan pilihan adalah penggunaan keuangan tidak mengukur pemasukan.
Ø  penyebab keluarga, yang menghubungkan kemiskinan dengan pendidikan keluarga. Penyebab keluarga juga dapat berupa jumlah anggota keluarga yang tidak sebanding dengan pemasukan keuangan keluarga.
Ø  penyebab sub-budaya (subcultural), yang menghubungkan kemiskinan dengan kehidupan sehari-hari, dipelajari atau dijalankan dalam lingkungan sekitar. Individu atau keluarga yang mudah tergoda dengan keadaan tetangga adalah contohnya.
Ø  penyebab agensi, yang melihat kemiskinan sebagai akibat dari aksi orang lain, termasuk perang, pemerintah, dan ekonomi. Contoh dari aksi orang lain lainnya adalah gaji atau honor yang dikendalikan oleh orang atau pihak lain. Contoh lainnya adalah perbudakan.
Ø  penyebab struktural, yang memberikan alasan bahwa kemiskinan merupakan hasil dari struktur sosial.
         Meskipun diterima luas bahwa kemiskinan dan pengangguran adalah sebagai akibat dari kemalasan, namun di Amerika Serikat (negara terkaya per kapita di dunia) misalnya memiliki jutaan masyarakat yang diistilahkan sebagai pekerja miskin; yaitu, orang yang tidak sejahtera atau rencana bantuan publik, namun masih gagal melewati atas garis kemiskinan.


BAB III
METODE PENELITIAN
3.1.Metode Penentuan Daerah Penelitian
       Pada penelitian ini metode yang digunakan untuk menentukan daerah penelitian adalah metode Two Stage Cluster Sampling dengan berdasarkan dua tahapan. Pertama,mengumpulkan semua data mengenai produksi kopi Arabika dari seluruh kabupaten di Provinsi Sumatera Utara. Berdasarkan data yang diperoleh dari Dinas Perkebunan Provinsi Sumatera Utara tahun 2010, daerah penghasil kopi Arabika terbesar ialah
      Kabupaten Dairi dengan produksi kopi Arabika sebesar 10.031 ton selama tahun 2009. Kedua, mengumpulkan semua data mengenai produksi kopi Arabika diseluruh kecamatan di Kabupaten Dairi. Berdasarkan data yang diperoleh dari Dinas Perkebunan Kabupaten Dairi tahun 2010, daerah penghasil kopi Arabika terbesar ialah Kecamatan  Sumbul dengan produksi kopi Arabika sebesar 6.810 ton selama tahun 2009.
       Kecamatan Sumbul terbagi kedalam 19 desa dimana Desa Tanjung Beringin memiliki lahan perkebunan kopi Arabika yang cukup luas dan sekitar 87,25% penduduknya yang bekerja sebagai petani kopi Arabika. Hal inilah yang menjadi alasan penulis untuk memilih Desa Tanjung Beringin sebagai daerah penelitian.







3.2.Metode Penentuan Sampel
        Metode yang digunakan dalam pengambilan sampel ialah metode Simple Random Sampling dimana semua unsur dari populasi petani kopi Arabika mempunyai kesempatan yang sama untuk dipilih sebagai anggota sampel. Proses pemilihan sampel (n) dari populasi (N) dilakukan secara random (acak). Jumlah sampel yang diambil pada penelitian ini ditentukan dengan menggunakan rumus Slovin, yakni,
dimana,
n = Ukuran sampel
N = Ukuran populasi
d = Presisi yang ditetapkan (15%)
Melalui rumus Slovin diatas maka jumlah sampel (n) yang diambil berdasarkan
jumlah populasi petani kopi Arabika (N) di Desa Tanjung Beringin, Kecamatan Sumbul
yang berjumlah 568 petani kopi Arabika ditentukan sebagai berikut,








3.3. Metode Analisis Data
         Untuk menguji hipotesis a,pertama digunakan analisis deskriptif dengan cara menjelaskan fakta di lapangan berdasarkan wawancara langsung dengan petani kopi Arabika. Kedua, digunakan analisis penerimaan dan pendapatan petani sesuai dengan rumus yang ditetapkan oleh Soekartawi (2002) sebagai berikut,
{ TR = Y . Py } dan { Ï€ = TR – TC }
dimana,
TR = Total penerimaan yang diterima petani kopi Arabika (Rp.)
Y = Produksi kopi Arabika (Kg)
Py = Harga jual kopi Arabika per-kg (Rp.)
Ï€ = Pendapatan petani kopi Arabika (Rp.)
TR = Total penerimaan petani kopi Arabika (Rp.)
TC = Total biaya produksi (Rp.)
      Sedangkan untuk menghitung kontribusi pendapatan dari usahatani kopi Arabika
terhadap total pendapatan keluarga petani kopi Arabika dapat digunakan rumus berikut,
dengan,
KP = Kontribusi Pendapatan Dari Usahatani Kopi Arabika (%)
Ï€ = Pendapatan Dari Usahatani Kopi Arabika (Rp.)
Ï€tot = Total Pendapatan Keluarga Petani Kopi Arabika (Rp.)
       Untuk menguji hipotesis b, digunakan dua alat perhitungan tingkat ketimpangan
distribusi pendapatan, yakni, indikator ketimpangan Gini Ratio dan kriteria Bank Dunia.
Untuk menghitung besarnya nilai koefisien Gini (Gini Ratio) digunakan rumus berikut,


Dengan,                                     GR =
GR = Angka Gini Ratio
fx = Proporsi jumlah RT
Yi = Proporsi jumlah pendapatan RT kumulatif
i = Index yang menunjukkan no. sampel

Kategori tingkat ketimpangan berdasarkan nilai dari koefisien Gini (Gini Ratio)
dibagi kedalam tiga kriteria sebagaimana tertera pada tabel berikut ini, dengan,
GR = Angka Gini Ratio
fx = Proporsi jumlah RT
Yi = Proporsi jumlah pendapatan RT kumulatif
            i = Index yang menunjukkan no. sampel
   
 Kategori tingkat ketimpangan berdasarkan nilai dari koefisien Gini (Gini Ratio)  dibagi kedalam tiga kriteria sebagaimana tertera pada tabel berikut ini,Untuk menguji hipotesis c, digunakan dua kriteria garis kemiskinan yakni, kriteria garis kemsikinan menurut Sajogyo (1988) dan BPS (2010). Adapun kriteria mengenai kedua indikator diatas dapat dilihat pada penjelasan berikut ini,








 Indikator garis kemiskinan menurut Sajogyo (1988)
a. Paling miskin, bila konsumsi beras sebanyak < 180 kg/kapita/tahun
b. Miskin sekali, bila konsumsi beras sebanyak 180–240 kg/kapita/tahun
c. Miskin, bila konsumsi beras sebanyak 241–320 kg/kapita/tahun
d. Nyaris miskin, bila konsumsi beras sebanyak 321–480 kg/kapita/tahun
e. Diatas garis kemiskinan (tidak miskin), bila konsumsi beras sebanyak
> 480 kg/kapita/tahun.

Tabel 3.1Garis  Kemiskinan
Menurut  BPS
Untuk
Daerah
Perkotaan
dan
Perdesaan (Kurun Waktu : Maret 2009 – Maret 2010).
Daerah / Tahun
Garis Kemiskinan
(Rp. / Kapita / Bulan)  
Makan
Bukan
Makanan
Total      
Perkotaan          
Maret 2009
155.909
66.214
222.123
Maret 2010
163.077
69.912
232.989
Perdesaan
Maret 2009
139.331
40.503
179.835
Maret  2010
148.939
43.415
192.354          
Sumber : Badan Pusat Statistik Tahun 2010.



 Indikator garis kemiskinan menurut BPS (2010)


BAB IV
PEMBAHASAN
4.1. Distribusi Sumber Pendapatan Petani Kopi Arabika
Dari hasil wawancara langsung dengan petani sampel diperoleh informasi bahwa mereka  menekuni  berbagai  cabang usaha lain  yang  beragam  diluar usahatani  kopi Arabika  sebagai  sumber  pendapatan  utama,  baik usahatani  nonkopi  Arabika,  maupun kegiatan  produktif  lain diluar  usahatani.Hal  ini disebabkan  oleh  berbagai  faktor pendukung seperti,  luas  lahan  yang dimiliki,  modal,  penguasaaan  terhadap  bidang pekerjaan tertentu, maupun kesempatan  yang ada. Distribusi sumber pendapatan  yang ditekuni petani sampel dapat diamati pada tabel berikut ini.
Tabel 4. 1.Distribusi Sumber Pendapatan Petani Sampel di Desa Tanjung Beringin,
Tahun 2011.
NO
Jenis Mata Pencaharian
Jumlah (jiwa)
Persentase(%)
1
Hanya Mengusahakan Usahatani
3
7,14
Kopi Arabika (Tanpa Sampingan)
2
Usahatani Non-Kopi Arabika
39
92,8
a. Usahatani Cabai Hijau
22
38,92
b. Usahatani Cabai Rawit
16
38,09
c. Usahatani Jagung
6
14,28
d.Usahatani Sawi Putih
12
28,57
e. Usahatani Tembakau
6
14,28
f. Usahatani Tomat
10
23,81
g. Usahatani Ubi Jalar
4
9,52
h. Usahatani Ubi Kayu
8
19,05
3
Kegiatan Produktif Diluar Usahatani
14
42,8
a. Buruh Tani
4
9,52
b. Beternak
7
16,67
c. Berdagang
4
9,52
d. Usaha Jasa
4
9,52
SUMBER:Analisis data primer

4.2.Analisis Pendapatan Dari Usahatani Kopi Arabika
Pendapatan usahatani merupakan selisih dari total penerimaan yang diperoleh petani dengan jumlah biaya produksi selama proses produksi berlangsung. Seperti diketahui bahwa sebagian dari penerimaan yang diperoleh petani dari usahataninya merupakan pengembalian atas biaya yang dikeluarkan petani dalam penggunaan faktor-faktor produksi dan sisanya disebut pendapatan yang diperoleh petani dari usaha tani Harapan petani ialah penerimaan tersebut paling tidak sama dengan biaya produksi yang telah dikeluarkan sehingga usahataninya tidak merugi. Pada berikut ini diperlihatkan rata-rata pendapatan petani sampel dari usahatani kopi Arabika didaerah penelitian.


Tabel 4.2.Rata-rata Pendapatan Petani Sampel dari Usahatani Kopi Arabika Selama Tahun 2011 di Desa Tanjung Beringin.
No
Bentuk Produksi
Kategori Pendapatan
Rata-Rata Pendapatan
1
Biji Merah
Per-Petani
Rp.10.623.851,92
Per-Hektar
Rp.17.246.957,52
2
Biji Putih
Per-Petani
Rp.23.537.518,28
Per-Hektar
Rp36.568.104,83
Sumber:Analisis Data Primer
Dari tabel4.2 dapat disimpulkan bahwa untuk kategori pendapatan per-petani, rata-rata pendapatan petani sampel yang memproduksi biji merah selama tahun 2011 ialahRp.10.623.851/tahun.Sedangkan rata-rata pendapatan petani sampel yang memproduksibiji  putih ialah  Rp.23.537.518/tahun. 
Untuk  kategori  pendapatan  per-hektar,  rata-ratapendapatan petani sampel  yang  memproduksi  biji  merah  ialah  Rp.17.246.957/tahun.Sedangkan  rata-rata  pendapatan  petani  sampel  yang memproduksi biji  putih  selama ialah Rp.36.568.104/tahun. Sebagai perbandingan dapat kita amati rata-rata keseluruhanpendapatan petani sampel tanpa melihat bentuk produksi biji kopi pada tabel berikut ini,




Tabel 4.3.Rata-Rata Keseluruhan Pendapatan Petani Sampel dari Usahatani Kopi
Arabika Selama Tahun 2011 di Desa Tanjung Beringin.
No
Kategori Pendapatan
Rata-Rata Pendapatan Pertahun(Rp)
Rata-Rata Pendapatan Perbulan(RP)
1
Per-Petani
Rp.19.540.431,07
Rp.1.628.369,26

Rp.1.628.369,26
2
Per-Hektar
Rp.30.587.749,71
Rp.2.548.979,14
TOTAL PENDAPATAN 42 PETANI SAMPEL
Rp.820.698.105,00
Sumber:Analisis Data Primer
Dari tabel 4.3 dapat disimpulkan bahwa untuk kategori pendapatan per-petani, selama tahun 2011 rata-rata keseluruhan pendapatan petani dari usahatani kopi Arabika ialah Rp.19.540.431. Sedangkan, untuk kategori pendapatan per-hektar, rata-rata keseluruhan pendapatan petani dari usahatani kopi Arabika ialah Rp.30.587.749.
4.3. Kontribusi Pendapatan Dari Usahatani Kopi Arabika Terhadap Total Pendapatan Petani Kopi Arabika
Dari hasil penelitian diperoleh informasi bahwa selain mengusahakan usahatani kopi Arabika, petani sampel juga mengusakan usahatani nonkopi Arabika, seperti, usahatani cabai hijau, cabai rawit, jagung, sawi putih, tembakau, tomat, ubi jalar, ubi kayu. Disamping itu, petani sampel juga menekuni usaha lain diluar kegiatan usahatani, seperti, buruh tani, beternak, berdagang, dan memiliki usaha jasa. Hal ini disebabkan oleh tuntutan hidup petani sampel dalam meningkatkan taraf hidup keluarga sementara kebutuhan keluarga semakin kompleks.
Tabel 4.4.Kontribusi Masing-Masing Sumber Pendapatan Petani Sampel Terhadap Total Pendapatan Petani Sampel Selama Tahun 2011 di Desa Tanjung Beringin.
No
Jenis Mata Pencaharian
Rata-Rata Pendapatan(RP)
Persentase (%)
1
Usahatani Kopi Arabika
Rp.19.540.431,07
65,68
2
Usahatani Non-Kopi Arabika
Rp.7.704.383,33
25,9
a.Usaha Tani Cabai Hijau
Rp.3.389.083,33
11,4
b.Usaha Tani Cabai Rawit
Rp.1.368.595,24
4,6
c.Usaha Tani Jagung
Rp.195.238,10
0,65
d.Usaha Tani Sawi Putih
Rp.533.380,95
1,8
e.Usaha Tani Tembakau
Rp.1.426.190,48
4,8
f.Usaha Tani Tomat
Rp.346.452,38
1,16
g.Usaha Tani Ubi Jalar
Rp.102.619,05
0,34
h.Usaha Tani Ubi Kayu
Rp.342.823,81
1,15
3
Kegiatan Produktif Diluar Usahatani
Rp.2.503.766,67
8,42
a.buruh
Rp.73.928,57
0,25
b.beternak
Rp.1.818.226,19
6,11
c.Berdagang
Rp.400.016,67
1,35
d.Usaha Jasa
Rp.211.595,24
0,71
Rata-Rata Total Pendapatan
Rp.29.748.581,07
100
Sumber:Analisis Data Primer
4.4. Tingkat Ketimpangan Pendapatan Petani Kopi Arabika
A.Berdasarkan Nilai Koefisien Gini (Gini Ratio) dan Kurva Lorenz
Nilai koefisien Gini yang menggambarkan tingkat ketimpangan pendapatan dari 42 petani sampel di Desa Tanjung Beringin dapat dilihat pada tabel berikut ini,
Tabel 4.5 Nilai Koefisien Gini (Gini Ratio) Petani Sampel di Desa Tanjung Beringin, Tahun 2011.
Uraian
Total Pendptn
Kum,Pndaptan
kum(Yi+yi-1)
petani  (%Xi)
[%Xi]×Kum.
petani/tahun(yi)
(Kum %yi)
[% (Yi+Yi-1)]
Terendah
Rp.6.213.740
1%
0,50%
2,38%
0,01%
Tertinggi
Rp.89.232.975
100,00%
192,86%
2%
4,49%
Jumlah
Rp.1.249.440.405
1405,16%
2710,32%
100%
64,53%
Koefisien Gini
1 – 64,53% = 35,47% = 0,36
 (Gini Ratio)
Sumber:Analisis Data Primer
Dari tabel 4.5  diketahui bahwa nilai koefisien Gini untuk distribusi pendapatan petani sampel di Desa Tanjung Beringin pada tahun 2011 ialah sebesar 0,36. Jika mengacu pada tabel 2.1, halaman 10, maka diketahui bahwa tingkat ketimpangan pendapatan petani sampel berada dalam kategori menengah. Selanjutnya koefisien Ginidapat pula dijelaskan melalui grafik kurva Lorenz yang terbagi atas 2 sumbu dimana sumbu horisontal menggambarkan % kumulatif petani sampel, sedangkan sumbu vertikal menyatakan % kumulatif dari total .
Disamping itu, grafik kurva Lorenz juga memiliki garis linear yang disebut dengan garis pemerataan. Untuk lebih jelasnya lagi mengenai grafik kurva Lorenz didaerah penelitian dapat dilihat pada grafik kurva Lorenz Di atas.diketahui bahwa sekitar 20% dari jumlah petani sampel yang memiliki pendapatan terendah hanya menerima 6,95% bagian dari keseluruhan total pendapatan. Selanjutnya 40% petani sampel yang juga memiliki pendapatan terendah menerima 19,26% bagian dari keseluruhan total pendapatan.

                                 
Garis Pemerataan
2
.
9
6
%
6
.
9
5
%
1
3
.
4
5
%
1
9
.
2
6
%
2
5
.
5
6
%
3
3
.
2
2
%
Kurva Lorenz
4
2
.
0
0
%
5
7
.
4
8
%
7
5
.
3
2
%
0
.
0
0
%
1
0
.
0
0
%
2
0
.
0
0
%
3
0
.
0
0
%
4
0
.
0
0
%
5
0
.
0
0
%
6
0
.
0
0
%
7
0
.
0
0
%
8
0
.
0
0
%
9
0
.
0
0
%
1
0
0
.
0
0
%
0
.
0
0
%
1
0
.
0
0
% 20.00% 30.00% 40.00% 50.00% 60.00% 70.00% 80.00% 90.00% 100.00%
%
Ku
m
u
l
a
t
i
f
Pe
n
d
a
p
a
t
a
n
Sumber : Analisis Data Primer.

B. Berdasarkan Kriteria Bank Dunia (World Bank)
     Pada penelitian ini selain menggunakan media perhitungan dengan koefisien Gini,peneliti juga menggunakan kriteria tingkat ketimpangan yang ditetapkan Bank Dunia.Tingkat ketimpangan dengan kriteria Bank Dunia diukur dengan menghitung prosentase kumulatif pendapatan dari 40% petani sampel yang berpendapatan terendah,kemudian membandingkannya dengan prosentase kumulatif keseluruhan total pendapatan petani sampel. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut ini,

NO
Kelompok Petani
Jumlah Kumulatif
Jumlah Kumulatif
Persentase
Sampel
Petani(jiwa)
Pendapata(RP)
kmlatif Pndpatan
1
40% Berpendapatan
Terendah
17
Rp.240.645.390,00
19,26
2
40% Berpendapatan
Menengah
17
Rp.477.535.140,00
38,22
3
20% Berpendapatan
Tertinggi
8
Rp.531.259.875,00
42,52
Jumlah
42
Rp.1.249.440.405,00
100
12% Dari Jumlah Pendapatan Rp. 149.932.848,60
17% Dari Jumlah Pendapatan Rp. 212.404.868,85
Sumber : Analisis Data Primer.
Tabel 4.7Tingkat Ketimpangan Pendapatan Petani Sampel Berdasarkan Kriteria Bank Dunia di Desa Tanjung Beringin, Tahun 2011.
Untuk melihat tingkat ketimpangan distribusi pendapatan petani sampel di Desa Tanjung Beringin maka yang harus diperhatikan ialah jumlah kumulatif pendapatan yang diterima oleh kelompok 40% petani berpendapatan terendah. Dimana pada penelitian ini kelompok tersebut menguasai keseluruhan total pendapatan sebesar Rp.240.645.390 atau sekitar 19,26%. Jika mengacu pada tabel 2, halaman 6, maka dapat disimpulkan bahwa tingkat ketimpangan distribusi pendapatan petani sampel menurut Bank Dunia termasuk dalam kategori rendah karena kelompok 40% petani yang berpendapatan terendah menguasai lebih dari 17% jumlah keseluruhan pendapatan petani sampel di Desa Tanjung Beringin.






4.5. Tingkat Kemiskinan dan Jumlah Petani Kopi Arabika Miskin
A. Berdasarkan Garis Kemiskinan Sajogyo (1988)  
    Menurut garis kemiskinan Sajogyo (1988) agar keluarga petani sampel didaerah penelitian disebut “Tidak Miskin” maka petani sampel harus memiliki rata-rata pendapatan minimal sebesar Rp.13.040.625/thn. Nilai tersebut diperoleh dengan mengalikan tiga faktor yang mempengaruhi tingkat kemiskinan petani sampel menurut Sajogyo (1988), yakni, batas minimal konsumsi beras untuk kategori daiatas miskin (321 kg), harga beras per-kg yang berlaku pada saat penelitian (Rp.8.125), dan rata-rata jumlah anggota keluarga yang ditanggung petani sampel (5 orang).
    Selanjutnya untuk lebih memahami lagi mengenai penggolongan tingkat kemiskinan dan jumlah petani sampel miskin berdasarkan kriteria garis kemiskinan Sajogyo (1988) dapat diamati pada tabel berikut ini,
Tabel 4.8 Penggolongan Tingkat Kemiskinan Petani Sampel Menurut Garis Kemiskinan Sajogyo (1988) di Desa Tanjung Beringin, Tahun 2011.
NO
Kategori
batas konsumsi beras
Jumlah Keluarga
Presentase
tnkt kemisknan
(kg/kapit/Tahun)
Petani Sampel
(kk)
1
   Paling Miskin
          < 180
1
2,38
2
Miskin Sekali
180 – 240
1
2,38
3
Miskin Sekali
241 – 320
7
16,67
4
Nyaris Miskin
321 – 480
11
26,19
5
Tidak Miskin
> 480
12
52,38
Jumlah
42
100
            Sumber : Analisis Data Primer.
     Dari tabel 4.8 diatas diketahui bahwa jumlah petani sampel yang berada dibawah garis kemiskinan ialah sebanyak 9 KK atau sekitar 21,43%. Jumlah ini diperoleh dari kategori paling miskin, kategori miskin sekali, dan kategori miskin.
B.Berdasarkan Kriteria BPS (2010)
     Sejak tahun 2003, BPS setiap tahunnya selalu mengeluarkan batasan pendapatan per-kapita per-bulan serta dibedakan antara wilayah perkotaan dan pedesaan. Hal ini dikarenakan sejak tahun 2003, BPS selalu mengumpulkan data Susenas Panel Modul Konsumsi setiap bulan februari atau maret.
     Dalam penelitian ini, peneliti juga menggunakan garis kemiskinan BPS tahun 2010 untuk wilayah perdesaan yang mengukur batasan minimum pendapatan sebesar Rp.192.354/kapita/bulan (sesuai dengan tabel 3.1). Dengan kata lain, keluarga petani yang tergolong miskin ialah petani yang memiliki pendapatan per-kapita per-bulan dibawah Rp.192.354 dan begitu pula sebaliknya. Pada tabel berikut ini akan dijelaskan mengenai tingkat kemiskinan dan jumlah petani sampel miskin didaerah penelitian.
Tabel 4.9. Penggolongan Tingkat Kemiskinan Petani Sampel Menurut Garis Kemiskinan BPS (2010) di Desa Tanjung Beringin, Tahun 2011.
No
Kategori
Batasan Pendapatan
Jumlah Keluarga
Persentase
tingkat kemiskinan
RP/Kapita/Bulan
Sampel(KK)
(%)
1
Miskin
< Rp.192.354,00
7
16,67%
2
Tidak Miskin
≥ Rp.192.354,00
35
83,33%
Jumlah
42
100%
            Sumber : Analisis Data Primer.
     Melalui tabel 4.9 di atas dapat diketahui bahwa dari 42 petani sampel yang diteliti pada penelitian ini, jumlah petani sampel yang dikategorikan miskin adalah sebanyak 7 KK atau sekitar 16,67%. Sedangkan jumlah petani sampel selebihnya, yakni, sebanyak 35 KK atau sekitar 83,33% dikategorikan tidak miskin.







BAB V
PENUTUP
A.KESIMPULAN
1.      Selain menjadikan usaha tani kopi Arabika sebagai sumber mata pencaharian utama, petani sampel juga menekuni berbagai cabang usaha lain sebagai sumber mata pencaharian tambahan, seperti, usahatani nonkopi Arabika dan kegiatan produktif lain diluar usahatani. Pendapatan petani sampel dari usahatani kopi Arabika mampu memberikan kontribusi terbesar terhadap total pendapatan petani selama tahun 2011, yakni, sebesar 65,68%.
2.      Tingkat ketimpangan distribusi pendapatan petani sampel menurut indikator koefisien Gini (Gini Ratio) berada dalam kategori menengah dengan nilai Gini Ratio sebesar 0,36. Sedangkan menurut indikator Bank Dunia (World Bank), tingkat ketimpangan distribusi pendapatan petani sampel berada dalam kategori rendah karena kelompok 40% petani yang berpendapatan terendah menguasai lebih dari 17% jumlah keseluruhan pendapatan petani, yakni, sebesar 19,26%.
3.      Menurut kriteria garis kemiskinan Sajogyo (1988), jumlah petani kopi Arabika miskin di Desa Tanjung Beringin selama tahun 2011 ialah sebanyak 9 keluarga atau sekitar 21,43%. Sementara itu menurut kriteria garis kemiskinan BPS (2010), jumlah petani kopi Arabika miskin di Desa Tanjung Beringin selama tahun 2011 ialah sebanyak 7 keluarga atau sekitar 16,67%, sedangkan selebihnya sebanyak 35 keluarga atau sekitar 83,33% berada dalam kategori tidak miskin.
3.

B.SARAN
     Diharapkan kepada petani kopi Arabika di Desa Tanjung Beringin agar lebih memperhatikan pemeliharaan tanaman kopi Arabika, seperti pemangkasan dan pembersihan lahan perkebunan. Sistem pemangkasan yang baik ialah dengan cara memangkas pucuk tanaman kopi Arabika agar tanaman tidak tumbuh terlalu tinggi sehingga bisa memberikan kesempatan bagi cabang-cabang primer dan sekunder untuk memanjang kesamping.
     Ini bertujuan agar proses pemanenan tidak sulit dijangkau serta pertumbuhan buah kopi dapat berjalan optimal. Selain itu, sistem pemangkasan juga perlu dilakukan terhadap tanaman yang memiliki pertumbuhan terlalu cepat karena pertumbuhan yang terlalu cepat dapat mengganggu tanaman lainnya akibat terlalu rimbun atau lebat.









DAFTAR PUSTAKA
o   Todaro,M.P.dan Stephen C.S.2006.Pembangunan Ekonomi,Surabaya:Penerbit Erlangga,Jilid 1.
o   Simanjuntak, Irwan. 2005.Analisis Pendapatan Keluarga Petani Kopi Ditinjau Dari Garis Kemiskinan. Skripsi Program Studi Agribisnis, Depatemen Sosial Ekonomi Pertanian, Universitas Sumatera Utara. Medan.
o   BPS Kabupaten Dairi (2011)